MEDIASERUNI – Gunung Lawu, merupakan salah satu gunung paling terkenal di Indonesia. Gunung ini dikenal bukan hanya karena keindahan alamnya yang memukau, tetapi juga karena beragam cerita mistis yang menyelimutinya. Salah satu cerita mistis yang paling populer di kalangan pendaki adalah tentang pasar setan.
Mitos ini menceritakan tentang sebuah pasar gaib yang konon bisa terdengar namun tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Cerita ini menjadi semakin terkenal karena banyak pendaki yang mengaku pernah mendengar suara-suara aneh saat mendaki Gunung Lawu, terutama di malam hari. Suara-suara tersebut menyerupai keramaian di pasar, lengkap dengan suara orang bertransaksi, tawa, dan bunyi-bunyi peralatan pasar.
Jalur pendakian seperti Candi Cetho dan Cemoro Sewu, meskipun menantang, sering kali menjadi pilihan favorit para pendaki. Namun, jalur-jalur ini juga dikenal dengan cerita-cerita mistis yang mengiringinya.
Banyak pendaki yang mengaku mendengar suara-suara aneh dari “pasar setan” saat melalui jalur-jalur ini, meski ketika mereka mencoba mencari sumber suara tersebut, yang mereka temukan hanyalah kegelapan dan keheningan hutan.
Tidak ada yang tahu pasti kapan dan bagaimana mitos tentang pasar setan ini bermula. Namun, cerita yang tersebar dari mulut ke mulut, ditambah pengalaman para pendaki yang mendengar suara-suara tanpa asal-usul yang jelas, membuat mitos ini terus hidup dan berkembang.
Beberapa orang percaya bahwa pasar setan adalah tempat berkumpulnya makhluk halus untuk bertransaksi, dan pasar ini hanya muncul pada waktu-waktu tertentu, terutama ketika ada manusia yang tidak sengaja melewati tempat tersebut.
Dalam budaya Jawa, pasar adalah simbol kehidupan sosial dan ekonomi. Munculnya pasar gaib di tengah hutan yang sunyi bisa jadi mencerminkan adanya aktivitas sosial dari dunia lain yang tidak terlihat oleh manusia.
Untuk menghindari gangguan dari pasar setan, beberapa pendaki melakukan ritual sederhana seperti melempar koin atau uang receh sebagai bentuk “transaksi” agar mereka bisa melewati tempat tersebut dengan aman.
Di balik cerita yang menakutkan ini, tersimpan pesan moral yang mendalam. Pendaki diingatkan untuk selalu menjaga sikap dan perilaku mereka saat berada di alam.
Sikap hormat dan rendah hati dianggap penting, tidak hanya terhadap alam yang mereka hadapi, tetapi juga terhadap “penghuni” yang tak kasat mata. Kepercayaan ini dipercaya dapat memberikan perlindungan dan memastikan perjalanan yang lebih aman. (*)