Ajaran ini menyatakan tentang keesaan Tuhan Yang Maha Esa, bahwa hanya Satu Tuhan yang patut disembah. Namun ditampik oleh kepala suku batak.
Dalam sebuah pertempuran kepala suku batak kalah dan terbunuh. Si Pertapa kemudian mengangkat anak kepala suku tersebut menggantikan dirinya, dan menghadiahinya sebuah senjata pengusir setan yang kelak disebut Parang Setan.
Senjata yang memiliki kekuatan mistis sangat hebat itu kemudian menjadi pusaka suku dan menjadi bukti kepemimpinan kepala-kepala suku di tanah batak.
Setelah membimbing anak kepala suku jadi pemimpin yang baik, berbudi dan cakap memerintah rakyatnya, Pertapa itu meninggalkan tanah batak, melanjutkan siar ajaran kebenaran.
Konon menurut cerita, pada masa pemerintahan kepala-kepala suku generasinya, terjadi perdebatan diantara penerus kepala suku, yang tetap mempertahankan ajaran kebenaran dan kembali keajaran lama, warisan leluhur.
Perdebatan ini memicu perkelahian diantara keturunan kepala suku yang memperebutkan pusaka tanah batak. Namun tidak ada yang kalah dan menang, sampai kemudian kemunculan si pertapa secara gaib, dan mengambil kembali pusaka tersebut.