Ada anggapan yang berhak atas pusaka itu adalah yang meneruskan ajaran kebenaran. Alasannya karena pusaka itu memang peninggalan sang penitip tanah batak yang menghadiahi pusaka itu sebagai bukti ajarannya.
Sementara lainnya beranggapan meski pusaka itu bukti peninggalan ajaran kebenaran, tapi sudah menjadi pusaka tanah batak. Maka yang berhak memegang pusaka adalah kepala suku yang sah.
Karena tak ingin jadi bahan pertumpahan darah diantara anak keturunan kepala suku, si pertapa alias Datuk Singa menancapkan pusaka itu di batu besar, dan meminta dua anak kepala suku mencabutnya untuk menyatakan pemiliknya.
Namun keduanya tak berhasil mencabut, hingga kemudian dicabut Datuk Singa. Cuma sayang, ujung senjata pusaka itu patah dan tertanam dibatu. Sedang badannya hilang secara gaib di tangan Datuk Singa.
Konon, setelah itu anak kepala suku yang tetap mempertahankan ajaran kebenaran pergi meninggal tanah batak. Sedang satunya kembali ke sukunya dan memerintah dengan bijak.
Konon dari peristiwa itu anak kepala suka yang pergi dikenal sebagai Orang yang Berani, berani menentang adat leluhur demi kebenarannya. Dari sebutan itu kemudian konon lagi memunculkan marga baru.