Mendengar itu, Sarmina langsung tergugu. “Sambar Nyawa.., belum pernah. Apakah itu nama orang.” Tuan Tanah Sarman tak menjawab, malah menatap tajam Sarmina. “Hmm, sepertinya ada yang dirahasiakan si Nyai dariku. Aku bercuriga, Surak inilah orang berjuluk Pendekar Sambar Nyawa…”
Namun, dihadapan putrinya tak ingin dia memperlihatkan kecurigaan. “Tadi bapak lihat orang berkelahi di pinggir hutan. Satu lawan tiga, dan yang dikeroyok itu orang yang sering bersama suami Nyai. Dia hebat, tiga pengeroyoknya berhasil dikalahkan.”
Mendengar itu Sarmina terang terkejut, namun berusaha disembunyikan. Dia tak ingin bapaknya semakin curiga. “Siapa para pengeroyak itu, pak.”
“Entahlah, bapak ndak kenal. Sepertinya bukan orang sekitar sini. Tapi seorang diantaranya berseragam kompeni.”
“Serdadu kompeni…”
“Iya, dua orang bersamanya seperti pendekar Melayu, sepertinya mereka pengawal Kota Deli.”
“Sampai ke tanah Batak, mereka patroli?”
“Bukan patroli, kayaknya mereka mengejar buronan. Dan, tadi bapak sempat dengar mereka menyebut-nyebut nama Macan Hisbullah Aceh, bukankah itu nama pemimpin pejuang Aceh…”