MEDIASERUNI.ID – Di balik senyuman perempuan, sering tersembunyi luka-luka kecil yang tak kasatmata, terutama saat perlakuan merendahkan menyelinap dalam perdebatan sehari-hari atau dalam relasi rumah tangga.

Saat pendapatnya diabaikan atau perannya dianggap sekadar pelengkap, bukan penentu, perempuan kerap merasa tidak diakui sebagai pribadi utuh. Pengabaian ini bukan cuma soal sopan santun, melainkan menyentuh inti harga diri dan eksistensi seseorang.

Ucapan yang meremehkan argumennya, keputusan yang diambil tanpa melibatkannya, atau komentar sinis yang menyentil peran domestik yang ia jalani, akan diasumsikan sebagai sikap merendahkan.

Meski terdengar sepele, perlakuan-perlakuan ini menyusup ke alam bawah sadar, meninggalkan rasa tidak dihargai yang membekas. Dan ketika pengakuan terhadap nilai dan suaranya diabaikan berulang kali, timbul rasa asing terhadap dirinya sendiri.

Yang lebih menyakitkan, luka semacam ini sering tidak dianggap serius oleh lingkungan sekitar. Perempuan dianggap terlalu sensitif atau terlalu dramatis ketika menunjukkan ketidaknyamanan atas perlakuan itu.

Baca Juga:  Falsafah Rindu, Orang Tua Wajib Baca Ini Supaya Tidak Jadi Penyakit

Padahal, dampaknya jauh dari sederhana. Ketika suara batin perempuan terus-menerus ditekan, ia bisa tumbuh dalam keheningan yang marah, kemarahan pasif yang perlahan menggerogoti kestabilan batinnya.

Kemarahan ini tidak selalu tampak seperti ledakan emosional. Ia bisa hadir sebagai sikap dingin, ketidaktertarikan, atau bahkan depresi yang diam-diam berkembang. Dalam relasi jangka panjang, hal ini menjadi bom waktu.

Ketidakseimbangan emosi yang tak diatasi dapat berujung pada pecahnya hubungan, baik secara emosional maupun sosial. Semua berawal dari satu hal: tidak diberi ruang untuk merasa diakui.

Banyak perempuan akhirnya memilih diam, entah karena takut dicap pembangkang atau karena merasa sia-sia untuk bicara. Diam ini bukan tanda kepasrahan, tetapi bentuk protes yang terbungkam.

Baca Juga:  Kelompok KKN Unsika Desa Ciwaringin Sosialisasi Stop Bullying dan Bersama Lindungi Tubuh Kita

Dan semakin lama dipendam, semakin besar kemungkinan kemarahan itu meletus dalam bentuk yang tidak terduga, baik lewat sikap ekstrem, penolakan peran, atau bahkan pemberontakan terhadap sistem yang selama ini mengekang.

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat, terutama dalam lingkup keluarga dan hubungan antarpribadi, untuk mulai membangun budaya pengakuan. Mengakui perasaan, pemikiran, dan kontribusi perempuan bukan hanya soal kesetaraan, tetapi juga fondasi harmoni emosional.

Perempuan yang merasa diakui akan tumbuh dengan rasa percaya diri dan kekuatan batin yang kokoh. Menghargai bukan berarti setuju dalam segala hal, tetapi hadir dengan empati dan keterbukaan.

Mendengarkan, memberi ruang, dan tidak meremehkan adalah langkah kecil yang mampu mencegah luka emosional yang besar. Karena pada akhirnya, semua orang, laki-laki maupun perempuan, hanya ingin satu hal, diakui keberadaannya sebagai manusia seutuhnya. (*)