MEDIASERUNI.ID – Hari itu, selepas mempertanyakan nasib insentif bagi para guru honorer, saya berangkat bersama istri dan anak. Langit tampak muram, seolah menimbang sesuatu. Tak lama kemudian, hujan turun deras, bukan sekadar air dari langit, tapi seperti ujian kecil yang jatuh bersamaan dengan langkah kami.
Air meluap, mencari jalan baru di atas jalan yang biasa kami lewati. Saya menerobos banjir itu dengan hati-hati, berharap bisa segera tiba di tujuan. Namun, tak lama setelah melewatinya, motor mendadak mati. Diam. Tak mau hidup lagi.
Saya menatap istri dan anak dengan berat hati. “Kalian jalan dulu,” ucap saya pelan. Mereka menepi, sementara saya tinggal dengan motor yang kini jadi beban, bukan kendaraan.
Langkah saya berat, roda terasa menahan, dan jarak menuju bengkel seakan tak berujung. Di tanjakan, saya berhenti. Nafas tertinggal di dada, tenaga hampir habis. Tapi ketika saya mulai lagi, beban itu terasa ringan.
Saya menoleh ke belakang. Ada seorang bapak — sederhana, tanpa kata, ikut mendorong motor saya. Tak ada perkenalan, tak ada alasan. Hanya tangan yang bekerja, hati yang menolong. Kami berjalan dalam diam, ditemani hujan yang seolah menghapus batas antara asing dan saudara.
Sesampainya di bengkel, ia tersenyum tipis, mengangguk, lalu pergi begitu saja, seperti hujan yang reda tanpa pamit.
Di situ saya mengerti, bahwa kebaikan sering datang diam-diam, tak menuntut balasan, bahkan kadang tak meninggalkan nama. Ia hadir hanya untuk mengingatkan: bahwa di tengah derasnya hidup, masih ada tangan-tangan yang tulus membantu, meski tanpa sorotan siapa pun.
Mungkin begitulah hidup, kadang kita mendorong, kadang didorong. Kadang kita menolong, kadang ditolong. Dan di antara semua itu, hujan terus turun, menulis pelajaran di hati: bahwa setiap kebaikan adalah cahaya kecil yang membuat perjalanan tetap berarti. (*)
