MEDIASERUNI.ID – Indonesia memang kaya dengan tradisi, termasuk tradisi ketika akan melakukan pernikahan. Di Jawa, dibalik wajah berseri pengantin Jawa, ada rahasia lama yang diwariskan turun-temurun, yakni ritual luluran sebelum menikah.

Bukan sekadar perawatan tubuh, tapi sebuah prosesi sakral yang penuh makna. Tradisi ini dilakukan untuk membersihkan diri, bukan hanya dari kotoran fisik, tapi juga dari energi negatif dan pikiran yang keruh. Seolah tubuh dan jiwa disiapkan agar benar-benar siap memasuki babak baru dalam kehidupan.

Lulur sendiri dibuat dari bahan-bahan alami yang mudah ditemukan di sekitar rumah. Campurannya terdiri dari beras halus, bengkoang, kunyit, pandan hingga bunga kenanga.

Tiap bahan punya peran unik. Beras untuk menghaluskan kulit, bengkoang untuk mencerahkan, kunyit sebagai antioksidan alami, dan pandan memberikan aroma menenangkan.

Saat dicampur, bahan-bahan ini menghasilkan wangi lembut yang khas aroma tradisi yang mengingatkan pada kesejukan desa dan tangan lembut ibu yang merawat anak perempuannya menjelang hari bahagia.

Namun luluran bukan sekadar ritual kecantikan. Di balik setiap gosokan lulur di kulit, tersimpan makna filosofis yang dalam. Proses menghapus lapisan demi lapisan kotoran diibaratkan sebagai simbol membersihkan diri dari kesalahan masa lalu.

Baca Juga:  Fakta Unik Korea Utara, Pemilu Wajib tapi Cuma Ada Satu Kandidat yang Boleh Dipilih

Calon pengantin diajak untuk melepaskan ego, amarah, dan hal-hal yang bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga nanti. Itulah sebabnya ritual ini sering dilakukan sambil membaca doa atau mendengarkan nasihat dari orang tua.

Dalam budaya Jawa, ritual lulur sering disebut ‘siraman‘ jika digabung dengan prosesi mandi suci sebelum pernikahan. Biasanya dilakukan sehari atau dua hari sebelum akad, diiringi musik gamelan lembut, dengan suasana yang penuh keharuan.

Air bunga digunakan untuk menyucikan tubuh, sementara lulur menjadi penutup yang memoles keindahan alami sang calon pengantin. Semua dilakukan dengan penuh kasih dan doa agar kehidupan barunya kelak berjalan harmonis.

Menariknya, tradisi ini tak hanya dimiliki oleh budaya Jawa saja. Di berbagai daerah di Indonesia, ada versi lain dari ritual serupa. Di Bali, misalnya, dikenal dengan ‘mepelekut’ sementara di Sunda disebut ‘ngibakan’. Meski berbeda nama dan bahan, maknanya tetap sama, yakni membersihkan diri lahir dan batin sebagai simbol kesiapan menuju kehidupan baru.

Baca Juga:  Sedekah Laut ke-4 di Nyamplungsari, Kepala Desa Sampaikan Aspirasi Nelayan

Kini, di era modern, lulur tradisional mulai dikemas dalam bentuk spa dan perawatan kecantikan. Tapi bagi sebagian wanita, melakukannya dengan cara lama tetap terasa istimewa.

Ada nuansa spiritual dan keintiman yang tak tergantikan, aroma beras dan pandan yang menguar, percikan air bunga, serta keheningan yang membuat hati terasa tenang. Itulah keindahan yang tak bisa digantikan oleh kemasan modern.

Ritual luluran mengajarkan bahwa kecantikan sejati tak datang dari bedak atau perhiasan, tapi dari hati yang bersih dan jiwa yang tenang. Seperti lapisan lulur yang terhapus dari kulit, begitu pula beban dan masa lalu yang perlahan hilang, menyisakan cahaya baru yang siap menyambut perjalanan hidup bersama pasangan.

Sebuah pelajaran sederhana dari tradisi lama bahwa sebelum mencintai orang lain, kita perlu lebih dulu membersihkan dan mencintai diri sendiri. (*)