Bandung, MEDIASERUNI.ID – Temuan mengejutkan diungkapkan Densus 88. Sebanyak 110 anak di Indonesia disebut teridentifikasi sudah direkrut kelompok terorisme.

Dari seluruh wilayah, Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan kasus keterpaparan radikalisme anak paling tinggi, terutama lewat dunia digital.

Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Pol Hendra Rochmawan, menjelaskan bahwa pola perekrutan kini sudah jauh berubah.

“Kalau dulu paham radikal disisipkan lewat kegiatan seperti pengajian tertutup, kini semuanya bergerak lewat media sosial yang jauh lebih mudah menjangkau anak-anak,” kata Hendra.

Hendra juga menyebut kelompok radikal kini fokus menyasar generasi Z dengan memanfaatkan teknologi. “Anak muda zaman sekarang hampir tidak pernah lepas dari gadget, dan kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok teror untuk mendekati target secara perlahan,” ucapnya.

Baca Juga:  Gempa M5,0 Guncang Selat Sunda, Tidak Berpotensi Tsunami

Ia menambahkan, ada banyak faktor yang membuat anak-anak rentan terpengaruh, mulai dari kondisi keluarga dan lingkungan, pendidikan yang kurang memadai, hingga masalah ekonomi.

Celah-celah inilah yang digunakan kelompok tertentu untuk mencari anggota baru yang dianggap mudah dipengaruhi.

Untuk mengantisipasi hal ini, Polda Jawa Barat menyiapkan berbagai langkah pencegahan bersama para pemangku kepentingan, termasuk para Da’i Kamtibmas.

Mereka fokus memberikan edukasi dan pendampingan agar anak-anak tidak mudah terpapar konten radikalisme.

Baca Juga:  Penjabat Bupati Lampung Utara Hadiri dan Buka Pelatihan Pembuatan Dompet Bertapis

Selain itu, kepolisian juga tengah menyiapkan pembentukan satgas khusus di sekolah-sekolah.

Satgas ini melibatkan para siswa dan organisasi sekolah untuk membantu deteksi dini, terutama setelah kasus ledakan di SMAN 72 Jakarta yang melibatkan korban bullying.

Dengan mekanisme ini, sekolah diharapkan bisa lebih cepat merespons jika ada tanda-tanda keterpaparan atau tindakan perundungan.

Hendra menegaskan bahwa pelibatan siswa dalam satgas adalah langkah penting untuk menciptakan lingkungan sekolah yang aman, sekaligus meminimalkan peluang kelompok radikal mempengaruhi generasi muda. (*)