MEDIASERUNI.ID – Istilah hacker ternyata punya sejarah yang jauh lebih panjang dan unik dibandingkan gambaran peretas jahat yang sering kita lihat di film. Jauh sebelum dunia digital semodern sekarang, kata hacker justru lahir dari lingkungan teknik yang penuh kreativitas.
Di masa awal kemunculannya, sebutan ini bahkan dianggap sebagai pujian bagi mereka yang punya kemampuan merakit, memodifikasi, dan menemukan trik cerdas dalam menyelesaikan masalah teknis.
Pada era 1950–1960-an, mahasiswa dan teknisi di MIT Amerika menjadi kelompok pertama yang memakai istilah ini. Mereka gemar mengotak-atik mesin hingga menghasilkan solusi yang kreatif dan out of the box.
Hasil karya mereka disebut “hack” bukan berarti merusak, tapi sebuah ide atau inovasi yang elegan. Jadi, secara historis hacker sama sekali tidak berkaitan dengan aksi kriminal.
Memasuki tahun 1960–1970-an, teknologi komputer mulai berkembang, dan istilah “hacker” pun pindah ke dunia pemrograman. Para penggila komputer saat itu senang bereksperimen dengan kode, menciptakan program baru, hingga memodifikasi sistem yang ada.
Semangat berbagi ilmu sangat kental, dan kontribusi mereka besar bagi lahirnya internet, perangkat lunak open-source, hingga dasar-dasar keamanan siber yang kita gunakan sekarang.
Budaya hacker pada masa awal sangat dipengaruhi oleh etika yang dikenal sebagai hacker ethic. Prinsip mereka sederhana tapi kuat, akses komputer harus terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar, informasi sebaiknya bebas, hacking adalah bagian dari kreativitas, dan setiap orang berhak memahami cara kerja sebuah sistem.
Dengan pola pikir seperti ini, hacker lebih mendekati penemu dan inovator ketimbang peretas gelap. Namun memasuki era 1980–1990-an, citra hacker mulai berubah setelah media menyoroti kasus-kasus peretasan yang merugikan.
Pelaku kejahatan digital sebenarnya lebih tepat disebut sebagai “cracker” atau “black hat hacker”, namun karena media memakai istilah “hacker” secara umum, masyarakat pun ikut menilai negatif. Padahal di sisi lain, ada juga hacker baik yang disebut white hat serta mereka yang berada di area abu-abu yang dikenal sebagai gray hat.
Saat ini, dunia sudah jauh berubah. Menjadi hacker justru merupakan profesi legal dan bergengsi di bidang keamanan siber. Banyak perusahaan besar seperti Google, Meta, hingga Microsoft membuka program bug bounty yang mengundang para hacker etis untuk menemukan celah keamanan.
Profesi seperti penetration tester, ethical hacker, hingga cyber security analyst kini menjadi pilihan karier yang menjanjikan dan dibutuhkan di era digital.
Singkatnya, asal-usul hacker bukan dari niat merusak, melainkan dari rasa penasaran, kreativitas, dan keinginan memahami cara kerja teknologi.
Stigma negatif muncul belakangan, akibat ulah sebagian kecil orang yang menyalahgunakan kemampuan tersebut. Tapi hingga hari ini, budaya hacker sejati tetap hidup: terus belajar, mengeksplorasi, dan menciptakan inovasi untuk dunia yang lebih aman dan lebih canggih. (*)
