TANAH BATAK memang menjadi tujuan perjalanan Haji Usman. Makanya setelah pertemuan para kalifah (baca; ulama) di Hamparan Perak, diapun langsung pamit…
Namun, sebelum berangkat, ia sempat membisiki Wak Ahmad, sesepuh Kampung Hamparan Perak akan menyinggahi Kampung Persatuan, di Perbaungan, saat itu sudah menjadi kampung besar yang ramai dikunjungi pendatang.
Pagi itu, dipinggiran kota Perbaungan terasa lain. Tidak seperti daerah-daerah pinggiran pada umumnya. Sunyi dan Lengang sedikit pula rumah penduduk, tapi yang ini padat dan ramai.
Dari arah jalan besar terlihat sebuah gerobak berjalan terseok-seok ditarik dua ekor sapi gemuk. Saisnya seorang lelaki tua bernama Wak Karmin. Barusan tadi sempat melirik sederetan tulisan ditulis menggunakan huruf besar berbunyi Kampung Bali, setelah melewati satu tikungan.
Kemudian sebaris lagi agak ke timur tertera tulisan Kampung Banten, kemudian Kampung Melayu dan Kampung Kek yang dihuni orang-orang keturunan Tionghoa beragama Islam.
Mereka bekerja sebagai kuli kuli kasar bangunan maupun pekerja-pekerja kebun. Mereka telah membaur dengan orang orang pribumi. Disini keunikannya. Kampung kampung tersebut terpisah tempat dan letak. Memiliki wilayah serta nama kampung masing-masing. Namun mengaku sebagai warga Kampung Persatuan.
Sais gerobak bernama Karmin memang sehabis dari Kampung Andolina. Sudah menjadi rutinitasnya ke kampung itu untuk mengantar sayuran dan bahan kebutuhan pokok kuli-kuli kebun.
Pemerintah kompeni awalnya memang menyediakan dapur umum. Namun dapur umum itu sudah ditiadakan, sehingga untuk bertahan hidup dan tetap kuat mereka pun terpaksa membeli sendiri kebutuhan pokok dari upah kecil yang mereka dapatkan setiap bulan.
Kuli kebun kompeni ketika itu hampir keseluruhannya pendatang. Mereka didatangkan kompeni dari berbagai pulau di nusantara, terutama dari Pulau Jawa. Mereka ini bekerja di kebun-kebun kompeni belanda dengan status kontrak.
Tidak hanya penduduk biasa yang memang ditempat asalnya petani, tetapi juga pejuang yang mereka tangkap juga dipekerjakan sebagai kuli kebun. Tentu saja dengan pengawasan ketat.
Kompeni memang sangat licik. Mereka justru mempekerjakan penjahat sebagai pegawai – pegawai bayaran dengan upah besar. Penjahat-penjahat inilah yang dibayar kompeni untuk menangkapi pejuang-pejuang yang menentang kompeni belanda.
Gerobak sapi milik Karmin tetap terseok melintasi pinggir hutan Perbaungan. Persis dijalan berbelok sais gerobak memicingkan mata. Dari kejauhan dia melihat sosok lelaki tinggi tegap mengenakan seragam hitam memakai peci hitam berjalan searah dengan gerobaknya.
Sekejap itu muncul ketakutan dalam dirinya. “Begal Sungai Ular…” Karmin bergumam pelan, tangannya segera meraba kantung uang hasil menjual sayuran dan kebutuhan pokok kuli kebun di Andalina.
Namun, ketakutannya lenyap seketika, ketika lelaki yang ternyata Haji Usman mengucapkan salam. “Assalamualaikum, Wak…” Sebutan Wak di Melayu merupakan sebutan penghormatan untuk lelaki yang usianya lebih tua.
Lelaki itu memang Haji Usman. Setelah bertemu dengan kalifah-kalifah Hamparan Perak, dia langsung melanjutkan perjalanan ke Tanah Batak. “Waalaikumsalam..,” Wak Karmin lebarkan senyum. “Dari mana dan mau kemana, berjalan ditengah hutan gini, apa tidak takut dibegal.” Wak Karmin hentikan gerobak, dan mempersilahkan Haji Usman menumpang gerobaknya.
“Mau ke tanah Batak, Wak, tapi akan mampir dulu di Perbaungan,” jawab Haji Usman, setelah mengepaskan duduknya di sebelah Wak Karmin.
Wak Karmin anggukan kepala. “Memang tepat sekali kalau mau ke tanah Batak. Kabarnya disana banyak perkebunan per- rebunan baru. Itulah berkat tiga pendatang dari jawa yang berhasil membuka hutan angker dan luas Dolok Masihul.”
Haji Usman cuma tersenyum. “Siapa tahu, Wak, saya bisa menjual tenaga disana.” Dan lagi Wak Karmin mengangguk angguk sambil mencetarkan pecut supaya sapinya berjalan lebih cepat lagi.
“Akhir akhir ini menang banyak pendatang dari jawa. Mereka diangkut kapal-kapal besar kompeni. Kapal-kapal itu mendarat di Tanjung Balai. Dari sana terus diangkut menggunakan kereta api. Tapi banyak juga dengan gerobak beriring-iringan dikawal serdadu kompeni dan jago-jago bayarannya.”
Haji Usman edarkan pandang. Keseluruhan masih barupa hutan lebat dan luas. Masih angker dan seram. Namun jalanan memang sudah kelihatan lebar lebar, tapi masih berupa tanah merah keras dan berbatu. Masih jarang dilalui orang kecuali ring-iringan gerobak pengangkut perbekalan kompeni.
Memang, masa itu selain jalur darat, kompeni belanda juga menggunakan jalur hutan untuk mengangkut hasil bumi dan rempah-rempah. Klompeni juga menggunakan jalur laut dan perlintasan kereta api untuk mengangkut rempah rempah dan hasil bumi, dalam dua arah pengawalan. Utara dan Timur.
Utara meliputi Deli Serdang dan Timur dari Tebing Tinggi sampai Tanah Batak. “Wak lewat jalan ini setiap hari?”
“Mau lewat mana lagi, cuma jalan ini paling aman.” Haji Usman melirik. “Berarti tidak ada jalan lagi yang dapat menghubungkan dengan kampung-kampung sebelah.”
“Sebetulnya ada, bila lewat hutan tapi banyak perampoknya. Mereka ganas dan kejam. Apalagi Begal Sungai Ular. Markasnya di Hutan Deli Tua.”
Haji Usman memang sudah mendengarkan bahwa diantara Hutan Deli Serdang sampai Dolog Masihul banyak gerombolan rampoknya. Tapi gerombolan rampok Begal Sungai Ular ini paling ganas. Gerombolan ini dipimpin dua orang bernama Badar dan Peang.
Kabarnya dua orang itulah pengikut-pengikut Sisingamangaraja XII, Raja Batak yang dibunuh kompeni Belanda dengan cara licik. Sebagian pengikutnya yang selamat melarikan diri dan bersembunyi di hutan-hutan dan hidup sebagai perampok.
Persis di belokan jalan bercabang Haji Usman turun. Terlihat tulisan Kampung Persatuan di sisi jalan. Setelah mengucapkan terima kasih diapun melangkah memasuki perkampungan tersebut. (Bersambung)