Kota Bandung, MEDIASERUNI.ID – Belakangan ini publik dikejutkan oleh pemberitaan mengenai dugaan “Jual Beli Kuota Haji Khusus” yang menyeret sejumlah Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) ke ranah hukum.

KH. Holil Aksan Umarzen atau yang akrab disapa Kang Holil, Wakil Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Bidang Organisasi, menyampaikan pendapatnya terkait pemberitaan tersebut kepada Asep Ruslan wartawan senior dan tokoh masyarakat Jawa Barat di Perumahan Graha Panyileukan Jalan Sukarno Hatta Bandung, Rabu (8/10/2025) malam.

“Opini yang berkembang seolah-olah PIHK menjadi pelaku korupsi atau penjual kuota. Padahal secara hukum dan fakta lapangan, PIHK bukan pelaku, melainkan korban sistem pungutan liar (Pungli) yang dilakukan secara masif dan terstruktur oleh oknum pejabat di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag) RI,” kata Kang Holil saat memulai percakapannya.

Menurut Kang Holil, PIHK dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada di pihak yang sama.

“Tujuan PIHK adalah menyelenggarakan ibadah haji dengan tertib, profesional, dan melayani jamaah sebaik-baiknya. Sedangkan tujuan KPK adalah memastikan setiap layanan publik terbebas dari praktik suap, pungli dan penyalahgunaan wewenang,” ujar Ketua Umum Forum Koordinasi Penataan Daerah CDOB  (Forkodetada) Jawa Barat.

Artinya PIHK dan KPK berdiri di sisi yang sama untuk menegakkan integritas.

“KPK bukan musuh PIHK, melainkan mitra strategis untuk membenahi sistem penyelenggaraan haji yang selama ini diwarnai tekanan birokrasi dan praktik tidak sehat,” kata Kang Holil.

Kang Holil mengatakan, fokus penyelidikan KPK harusnya pada pungli massif bukan jual beli kuota, karena secara yuridis tidak pernah ada praktik jual beli kuota.

“Kuota haji adalah keputusan administratif negara yang tidak dapat diperjualbelikan, karena bukan hak milik atau komoditas ekonomi. Yang justru terjadi, berdasarkan kesaksian banyak PIHK, adalah permintaan pembayaran tidak resmi oleh oknum pejabat secara masif kepada seluruh PIHK  setelah kuota disetujui (post-facto),” ungkap Kang Holil.

Baca Juga:  Laksamana TNI (Purn) Ade Supandi Silaturahmi dengan Danlanal Bandung Kolonel Laut (P) Erfan Indra Darmawan

“Pola ini menunjukkan tindak pidana pemerasan jabatan (Pasal 12 huruf e UU Tipikor). PIHK berada dalam posisi tertekan secara moral dan administratif, bukan pelaku suap, melainkan korban system.”

korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan (Foto: Istimewa)

“Karena itu, KPK sebaiknya memusatkan fokus penyelidikannya pada dugaan praktik Pungli terstruktur di lingkungan Kemenag, bukan pada penyelenggara haji yang justru menjadi korban tekanan tersebut. Langkah ini akan membuat penegakan hukum menjadi lebih adil, objektif, dan sesuai dengan asas keadilan substantif,” tuturnya.

Pembayaran pungli kata Kang Holil, dilakukan setelah keputusan administratif terbit, bukan untuk mempengaruhi keputusan. Dana yang digunakan bersumber dari biaya jamaah, bukan APBN. Seluruh layanan hotel, transportasi, konsumsi, dan visa tetap terpenuhi tanpa kerugian negara maupun jamaah.

“Dengan demikian, unsur korupsi, suap, maupun kerugian negara tidak terpenuhi. Yang harus diusut adalah oknum penerima pungli, bukan penyelenggara yang dipaksa membayar untuk menjaga keberangkatan jamaah,” tegasnya.

Selanjutnya Kang Holil mengatakan, PIHK adalah korban, bukan pelaku,karena PIHK justru menanggung kerugian finansial dan reputasional akibat sistem birokrasi yang menekan.

“Secara hukum pidana, pihak yang bertindak di bawah tekanan (daya paksa moral/overmacht) tidak dapat dipidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP. Oleh karena itu PIHK berhak mendapat perlindungan hukum dan status sebagai pelapor beritikad baik (whistle-blower), bukan stigma sebagai pelaku,” tuturnya.

Di akhir pembicaraan, kang Holil mengatakan bahwa KPK bukan musuh PIHK. KPK adalah mitra dalam memperjuangkan penyelenggaraan ibadah haji yang bersih, transparan, dan berintegritas.

“Fokus penyelidikan seharusnya diarahkan pada praktik Pungli yang merusak sistem, bukan pada PIHK yang menjadi korbannya,”

“Jika KPK dan PIHK berjalan bersama dalam semangat keadilan, maka pemberantasan pungli bukan hanya membersihkan tata kelola haji, tetapi juga mengembalikan kesucian nilai ibadah sebagai wujud pengabdian kepada Allah dan pelayanan kepada umat,” harapan Tokoh Masyarakat Jawa Barat ini.

Korupsi Kuota Haji

Baca Juga:  LSI Rilis Survei Terbaru " Mas Boy " Hasil Surveinya Masih Tertinggi

Saat ini, KPK tengah melakukan penyidikan terkait perkara kuota haji 2024. Perkara ini berawal saat Presiden Jokowi pada 2023 silam bertemu dengan Pemerintah Arab Saudi dan mendapat 20 ribu kuota tambahan haji.

KPK menduga bahwa asosiasi travel haji yang mendengar informasi itu kemudian menghubungi pihak Kementerian Agama (Kemenag) untuk membahas masalah pembagian kuota haji.

Mereka diduga berupaya agar kuota haji khusus ditetapkan lebih besar dari ketentuan yang berlaku. Seharusnya kuota haji khusus hanya diperbolehkan maksimal 8 persen dari total kuota haji Indonesia.

Diduga, ada rapat yang menyepakati kuota haji tambahan akan dibagi rata antara haji khusus dan reguler 50%-50%.

korupsi
Menteri Agama RI, Yaqut Cholil Qoumas saat Rapat Kerja bersama Anggota Komisi III DPR RI (Foto: Istimewa)

Keputusan itu juga tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 130 Tahun 2024 yang ditandatangani oleh Menag saat itu, Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut. KPK masih mendalami keterkaitan SK itu dengan rapat yang digelar sebelumnya.

Selain itu, KPK juga menemukan adanya dugaan setoran yang diberikan para pihak travel yang mendapat kuota haji khusus tambahan ke oknum di Kemenag.

Besaran setoran yang dibayarkan berkisar antara USD 2.600 hingga USD 7.000 per kuota. Perbedaan biaya tersebut bergantung pada besar kecilnya travel haji itu sendiri. Uang itu diduga disetorkan para travel melalui asosiasi haji. Nantinya, dari asosiasi haji itu akan menyetorkan ke oknum di Kemenag. KPK menyebut, aliran uangnya diterima oleh para pejabat hingga pucuk pimpinan di Kemenag.

Dari hasil penghitungan sementara, kerugian negara yang disebabkan kasus ini mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Kini KPK tengah menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menghitung kerugian negara tersebut.

Dalam penyidikan kasus ini, KPK juga telah mencegah tiga orang ke luar negeri, yaitu: Yaqut Cholil Qoumas (mantan Menag), Ishfah Abidal Aziz alias Gus Alex (mantan stafsus Menag) dan Fuad Hasan Masyhur (bos travel Maktour).