MEDIASERUNI.ID – Lipstik, bedak, eyeliner, hingga pilihan busana yang serasi kerap menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian banyak wanita. Dari luar, kebiasaan berhias ini sering dianggap sekadar urusan gaya, tren, atau tuntutan sosial.

Padahal, jika ditelisik lebih dalam, ada cerita panjang yang melibatkan naluri biologis, kebutuhan psikologis, hingga jejak budaya yang telah tertanam sejak ribuan tahun lalu.

Menariknya, para ahli menyebut bahwa alasan wanita gemar berhias bukan hanya soal ingin terlihat cantik di mata orang lain, tetapi juga berkaitan dengan cara otak manusia bekerja dan bagaimana emosi terbentuk.

Faktor Biologis/Naluri

Secara biologis, manusia memang memiliki ketertarikan alami terhadap keindahan visual. Psikolog evolusioner menjelaskan bahwa otak manusia dirancang untuk merespons warna, simetri, dan bentuk yang menarik. Pada banyak wanita, sensitivitas terhadap detail visual seperti perpaduan warna, tekstur, dan harmoni bentuk cenderung lebih tinggi.

Inilah sebabnya, aktivitas berdandan kerap terasa menyenangkan. Bukan sekadar rutinitas, tetapi menyerupai proses kreatif. Memilih warna lipstik yang pas atau memadukan busana tertentu sering kali memberikan kepuasan estetika, layaknya menciptakan sebuah karya seni kecil pada diri sendiri.

Baca Juga:  PLN Sukses Menggelar PLN Electric Run 2024, Para Juara Bilang Begini

Faktor Psikologis

Menurut pakar psikologi visual, proses ini memicu pelepasan hormon dopamin—hormon yang berkaitan dengan rasa senang dan kepuasan. Tak heran jika banyak wanita merasa lebih “hidup” dan bersemangat setelah berdandan.

Berhias Diri, Bahasa Diam yang Penuh Makna
Dari sudut pandang psikologi, berhias diri juga berfungsi sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Apa yang dikenakan seseorang kerap mencerminkan suasana hati, kepribadian, bahkan pesan yang ingin disampaikan kepada lingkungan sekitar.

Psikolog sosial menyebut, penampilan adalah “kesan pertama” yang sering kali berbicara lebih cepat daripada kata-kata. Saat seorang wanita merasa tampil rapi dan menarik, otak akan menangkap sinyal positif tentang dirinya sendiri. Efeknya, rasa percaya diri meningkat, postur tubuh lebih tegak, dan cara berbicara pun menjadi lebih tenang.

“Ketika seseorang merasa cantik, persepsi terhadap dirinya ikut berubah. Ini berdampak langsung pada emosi dan interaksi sosial,” ujar sejumlah ahli psikologi klinis dalam berbagai studi tentang self-esteem dan penampilan.

Banyak anggapan bahwa wanita berhias semata-mata untuk menarik perhatian orang lain. Namun penelitian psikologi modern justru menunjukkan hal sebaliknya. Dalam banyak kasus, berhias adalah bentuk self-care.

Baca Juga:  Mindset Perempuan Madura untuk Meraih Mimpi di Tengah Tuntutan Sosial Budaya

Merawat diri, memilih pakaian yang disukai, atau sekadar memakai riasan ringan dapat menjadi ritual kecil yang memberi rasa kontrol dan kenyamanan. Di tengah tekanan hidup, aktivitas ini berfungsi sebagai “jeda emosional” yang membantu menjaga kesehatan mental.

Sosiolog budaya menambahkan, kebiasaan berhias juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang diwariskan lintas generasi. Dari tradisi berhias di masa lalu hingga standar kecantikan modern, semuanya membentuk cara wanita memandang diri dan tubuhnya.

Pada akhirnya, kegemaran wanita berhias tidak bisa disederhanakan sebagai urusan gaya semata. Ia adalah perpaduan antara naluri biologis, kebutuhan psikologis, dan konstruksi sosial yang saling berkaitan.

Berhias adalah cara wanita mengekspresikan diri, merawat kesehatan emosional, dan membangun rasa percaya diri. Bukan soal ingin dipuji, tetapi tentang merasa nyaman dan bahagia dengan diri sendiri.

Jadi, lain kali saat melihat seorang wanita menikmati waktu di depan cermin, mungkin yang sedang terjadi bukan sekadar berdandan. Bisa jadi, ia sedang menciptakan versi terbaik dari dirinya, baik secara visual, emosional, maupun mental. (*)