MEDIASEUNI.ID – Dalam sejarah filsafat, sedikit tokoh yang mampu memadukan logika tajam dengan sentuhan mistis seperti Plato. Filsuf besar Yunani kuno ini tak hanya membicarakan soal etika, politik, dan seni, tetapi juga menyinggung sebuah tema yang selalu membuat manusia resah, kiamat.

Menariknya, Plato melihat akhir dunia bukan sekadar bencana tunggal, melainkan bagian dari siklus kosmik yang akan terus berulang, sebuah tarian takdir yang menelan peradaban demi peradaban.

Dalam dialog-dialognya, terutama Timaeus dan Critias, Plato mengungkap gagasan tentang siklus panjang di mana bumi berkali-kali “dibersihkan” oleh bencana alam. Kadang kehancuran itu datang melalui api yang membakar dunia, kadang melalui air bah yang menenggelamkan segalanya.

Bagi Plato, ini bukan sekadar mitos, tetapi hukum alam yang tak bisa dilawan, sebuah irama abadi di mana peradaban membangun, mencapai puncak, lalu runtuh kembali ke debu.

Ia bahkan menyinggung tentang peradaban yang hilang jauh sebelum Yunani berdiri—Atlantis, sebagai contoh nyata dari siklus ini. Atlantis, menurutnya, adalah kerajaan maju yang tenggelam dalam satu malam akibat murka alam.

Baca Juga:  Alas Purwo Hutan Purba yang Jadi Pusat Pemerintahan Kerajaan Gaib

Bukan karena takdir yang kejam, melainkan akibat kesombongan manusia yang lupa keseimbangan moral dan melawan hukum alam semesta. Seolah Plato ingin mengingatkan, teknologi dan kemegahan tanpa kebijaksanaan hanyalah tiket menuju kehancuran.

Yang membuat pemikiran Plato semakin memikat adalah kesadarannya bahwa manusia sering kali tidak belajar dari masa lalu. Setelah kehancuran, peradaban baru muncul, perlahan berkembang, lalu mengulang kesalahan yang sama.

Bagi Plato, ini bukan sekadar kebetulan, tetapi bagian dari loop kosmik yang tak terputus, sebuah roda nasib yang selalu berputar.

Lebih dalam lagi, Plato mengaitkan siklus ini dengan gerakan benda-benda langit. Ia percaya bahwa posisi dan rotasi kosmik dapat memicu bencana besar, entah melalui perubahan iklim ekstrem atau fenomena geologis raksasa.

Baca Juga:  Jin Muslim Paling Doyan Bermukim di Batu Akik Sulaiman, Giok Hitam Nomor 2

Pemikiran ini, meski lahir di era tanpa teleskop atau satelit, terdengar mengejutkan mirip dengan teori modern tentang siklus iklim, tumbukan asteroid, atau supervolcano yang bisa menghapus umat manusia.

Namun, di balik nuansa muram itu, Plato juga menyisipkan harapan. Setiap kehancuran, menurutnya, adalah kesempatan bagi umat manusia untuk memulai lagi dengan lembaran baru, membangun peradaban yang lebih bijak, lebih selaras dengan alam, dan lebih memahami tempatnya di kosmos.

Tetapi, seperti yang ia sindir halus, tidak semua peradaban akan memanfaatkan kesempatan kedua ini. Pertanyaannya sekarang: jika Plato benar, di manakah posisi kita dalam siklus itu.

Apakah kita tengah mendekati puncak kejayaan yang rawan runtuh, atau sudah berada di jalur menuju kehancuran berikutnya. Dan yang lebih menegangkan, apakah kita masih punya waktu untuk mengubah nasib, atau siklus kosmik sudah menetapkan putarannya sejak ribuan tahun lalu. (*)