PEMALANG, MEDIASERUNI.ID — Keputusan DPRD Pemalang yang menyetujui pinjaman daerah sebesar Rp 200 miliar dalam rapat paripurna pada Senin (24/11/2025) kini memicu sorotan tajam dan peringatan serius dari kalangan pakar hukum. Pasalnya, pinjaman jumbo tersebut dinilai berpotensi mengguncang stabilitas APBD, mengurangi belanja publik wajib, hingga menyeret pejabat pada ancaman sanksi hukum dan pidana korupsi apabila terjadi penyimpangan.
Dalam sambutannya, Wakil Bupati menyampaikan bahwa dana pinjaman akan diarahkan untuk pembangunan lanjutan RSUD Randudongkal sebesar Rp 55 miliar dan infrastruktur jalan sebesar Rp 145 miliar.
Namun di balik rencana besar tersebut, analisis hukum menunjukkan ancaman fiskal yang tidak boleh dianggap remeh.
PERINGATAN KERAS DARI PAKAR HUKUM
Praktisi hukum tata negara, Dr.(c) Imam Subiyanto, S.H., M.H., CPM, mengeluarkan pernyataan sangat tegas terkait risiko hukum dan keuangan daerah.
“Pinjaman daerah memang sah menurut undang-undang, tetapi dapat berubah menjadi jerat fiskal yang mengunci APBD bertahun-tahun. Bila salah kelola, ini bisa menjadi pintu masuk skandal keuangan daerah,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa dasar hukum pinjaman daerah mengatur batasan yang ketat, yaitu:
Dasar Hukum Resmi
✅ Pasal 292–303 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
✅ Pasal 105–115 UU No. 1 Tahun 2022 tentang HKPD
✅ PP No. 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah (DSCR wajib ≥ 2,5)
✅ Permendagri 77/2020 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
Menurut Imam, jika pemerintah daerah gagal memenuhi kewajiban rasio kemampuan bayar (DSCR), maka konsekuensinya sangat ekstrem:
“Pemerintah pusat dapat memotong Dana Alokasi Umum (DAU). Ini berarti gaji guru, tenaga kesehatan, hingga pelayanan dasar masyarakat bisa ikut terganggu,” ujarnya.
RISIKO HUKUM YANG BISA MENJERAT PEJABAT
Imam secara terbuka menyebut adanya potensi jerat pidana, jika terjadi penyimpangan penggunaan pinjaman:
Potensi Jeratan Hukum
🔻 Sanksi Administratif Pejabat Daerah — (UU 23/2014)
🔻 Tuntutan Ganti Kerugian Daerah (TGR) — (UU Keuangan Negara)
🔻 Pidana Korupsi — Pasal 3 UU Tipikor apabila terjadi:
✅ penyalahgunaan wewenang
✅ mark-up proyek
✅ proyek mangkrak
✅ pengadaan fiktif
✅ conflict of interest
Imam menegaskan:
“Pinjaman sebesar ini bukan hanya soal pembangunan—ini adalah potensi liability hukum. Jika proyek tidak selesai atau tidak bermanfaat, pejabat yang menandatangani akan ikut bertanggung jawab, termasuk secara pidana.”
PERINGATAN EKSTRIM TERKAIT APBD
Menurut kajian hukum yang ia sampaikan, dampak terburuk yang mungkin terjadi adalah:
⚠ APBD Bisa Terkunci 5–10 Tahun
Karena cicilan pokok dan bunga menjadi mandatory spending yang tidak boleh dikurangi.
⚠ Belanja Publik Bisa Tergerus
Terutama:
pendidikan,
kesehatan dasar,
infrastruktur vital desa,
bantuan sosial,
⚠ Beban Rakyat Bisa Meningkat
Jika daerah menutup defisit melalui:
kenaikan retribusi,
tarif layanan publik,
pungutan kebijakan daerah lainnya.
DORONGAN KERAS UNTUK TRANSPARANSI
Imam menyatakan bahwa publik memiliki dasar hukum kuat untuk menuntut keterbukaan, yakni:
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
“Kontrak proyek, daftar penyedia, nilai paket, jadwal pencairan, dan audit harus dibuka. Jika ditutup-tutupi, patut diduga ada yang tidak beres,” ujarnya.
DPRD DIPERINGATKAN: BUKAN HANYA MENYETUJUI, TAPI BERTANGGUNG JAWAB
Mengutip Pasal 154 UU 23/2014, ia menyatakan:
DPRD wajib melakukan pengawasan aktif
DPRD dapat membentuk Pansus Pengawasan Pinjaman Daerah
DPRD bisa ikut dimintai tanggung jawab jika lalai
“Jika pinjaman ini berujung masalah keuangan daerah, maka DPRD tidak bisa bersembunyi. Persetujuan tanpa pengawasan adalah kelalaian konstitusional,”
Pinjaman Rp 200 Miliar ini legal — tetapi sangat berisiko.
Dan menurut kajian hukum:
✅ Bisa menyelamatkan pelayanan publik
atau
❌ bisa menjadi bencana fiskal dan hukum terbesar Pemalang
Semua tergantung:
Transparansi Pengawasan
Integritas
Kepatuhan hukum
