MEDIASERUNI.ID – Sidang perdana perkara sengketa Pilkada Kabupaten Sukabumi 2024 dengan nomor 235/PHPU.BUP-XXIII/2025 digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu 8 Januari 2025.

Sidang ini dipimpin Ketua MK Suhartoyo bersama Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dan M. Guntur Hamzah. Pemohon dalam perkara ini adalah Paslon nomor urut 01, Iyos Somantri – Zainul, yang diwakili kuasa hukum Saleh Hidayat.

Termohon adalah KPU Kabupaten Sukabumi, sementara Pihak Terkait adalah Paslon nomor urut 02, Asep Japar – Andreas, yang didampingi kuasa hukum Muhammad Rafi’i Nasution dan Andri Yules.

Pemohon menduga terjadi penggelembungan suara di 469 TPS yang menyebabkan selisih suara antara Paslon 01 dan 02 menjadi 73.726, jauh berbeda dari hasil rekapitulasi akhir sebesar 65.000 suara.

Baca Juga:  Penjahat Hipnotis Berkeliaran di Cikampek, Korbannya Terakhir Pengusaha Boneka

Selain itu, Pemohon menuduh adanya pelibatan birokrasi dan ASN secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), serta praktik politik uang dengan 68 alat bukti pendukung.

Sebagai tuntutan, Pemohon meminta MK memerintahkan pemungutan suara ulang di 469 TPS dan menyatakan hasil perolehan suara di TPS tersebut tidak sah.

Pemohon mengklaim perolehan suara Paslon 01 adalah 470.172, unggul 8.224 suara dari Paslon 02 yang memperoleh 461.928 suara.

Tanggapan Pihak Terkait
Kuasa hukum Paslon 02, Muhammad Rafi’i Nasution, menilai dalil Pemohon lemah. Ia menyebut permohonan tidak memenuhi syarat formil dan materiil, sehingga dianggap kabur (obscuur libel).

Rafi’i juga mempertanyakan bukti dugaan TSM yang hanya melibatkan 10 persen dari total TPS, jauh dari ketentuan minimal 50 persen.

Baca Juga:  Surat Imam Subiyanto ke Mediaseruni: Survei Hoaks Pilkada Ancam Demokrasi dan Hukum

“Data yang disajikan Pemohon tidak membuktikan perbedaan hasil pleno KPU,” ucap Rafi’i, seraya menegaskan bahwa mengurangi suara yang telah sah ditetapkan merupakan pelanggaran konstitusi.

Sementara, Andri Yules, juga tim kuasa hukum Paslon 02, meminta semua pihak bersikap jujur dan adil sesuai hukum.

Andri mengingatkan bahwa memberikan keterangan palsu di persidangan dapat dikenai pidana dengan ancaman maksimal 7 tahun penjara. “Jika ditemukan pelanggaran hukum selama sengketa berlangsung, kami siap menempuh jalur hukum,” tegas Andri.

Sidang berikutnya akan mendengarkan jawaban dari Termohon, Pihak Terkait, dan Bawaslu atas dalil-dalil Pemohon. (Ari/*)