Pemalang, – MEDIASERUNI.id –
Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Pemalang, Nur Aji Mugi Harjono, baru-baru ini menyatakan bahwa 16 unit ambulans telah tiba dan merupakan bagian dari program prioritas Bupati Pemalang. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan dari berbagai pihak, terutama dalam hal transparansi anggaran dan legalitas mekanisme pengadaan.
Sebagai pemerhati hukum tata kelola keuangan daerah, saya menilai perlu dilakukan kajian kritis atas dua aspek krusial dari realisasi program tersebut: sumber anggaran dan mekanisme pengadaan.
Di Mana Pos Anggarannya?
Dalam sistem keuangan daerah yang diatur oleh UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap belanja daerah — termasuk pengadaan ambulans — harus melalui perencanaan dan pengesahan APBD. Artinya, publik berhak mengetahui: apakah pengadaan 16 ambulans ini sudah direncanakan dalam RKPD, dimuat dalam KUA-PPAS, dan ditetapkan dalam DPA Pemkab Pemalang?
Jika pengadaan bersumber dari hibah, Dana Alokasi Khusus (DAK), atau bahkan Corporate Social Responsibility (CSR), tetap wajib tercantum dalam APBD sebagaimana diatur dalam Permendagri No. 77 Tahun 2020 dan Permendagri No. 99 Tahun 2019. Tanpa dasar tersebut, maka pengadaan tersebut berpotensi ilegal dan menyalahi prinsip legalitas anggaran.
Mekanisme Pengadaan Harus Sesuai Aturan
Pengadaan barang/jasa pemerintah diatur secara ketat melalui Perpres No. 12 Tahun 2021. Untuk belanja sebesar pengadaan 16 unit ambulans, seharusnya dilakukan melalui mekanisme tender terbuka atau e-purchasing via e-Katalog LKPP. Pengadaan secara penunjukan langsung tanpa justifikasi yang sah — seperti situasi darurat — tidak dibenarkan dan berpotensi melanggar hukum.
Jika prosedur dilanggar, maka ini bukan hanya soal administrasi. Ini menyangkut risiko pelanggaran hukum serius, termasuk penyalahgunaan wewenang dan kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor.
Transparansi dan Fungsi Kontrol Publik
Pemerintah Kabupaten Pemalang semestinya mempublikasikan secara terbuka dokumen perencanaan, anggaran, dan kontrak pengadaan ambulans tersebut. Ini bukan hanya soal akuntabilitas anggaran, tapi juga bentuk penghormatan terhadap hak publik atas informasi.
Lebih jauh lagi, DPRD Kabupaten Pemalang sebagai lembaga legislatif harus menjalankan fungsi kontrol anggaran secara substansial, bukan hanya sebagai pengesah formal. Masyarakat berhak tahu: dari mana ambulans itu dibeli, bagaimana prosesnya, dan siapa pihak yang memperoleh keuntungan dari pengadaan itu.
Risiko Hukum yang Mengintai
Pengadaan tanpa dasar APBD dan tanpa prosedur pengadaan yang sah berpotensi masuk dalam kategori pelanggaran hukum. Jika terbukti ada markup, konflik kepentingan, atau persekongkolan, maka konsekuensinya bisa sampai ke ranah pidana, mulai dari pemeriksaan BPK, APIP, hingga aparat penegak hukum.
Niat Baik Harus Dijalankan Secara Legal
Kita semua mendukung peningkatan layanan kesehatan, termasuk penyediaan ambulans. Namun niat baik tidak boleh menabrak hukum. Setiap rupiah uang rakyat harus dikelola dengan tertib, transparan, dan akuntabel.
Kami mendesak:
Pemkab Pemalang segera membuka informasi publik atas proses pengadaan ambulans ini,
DPRD Pemalang memperkuat fungsi pengawasan, dan
Aparat pengawas internal dan eksternal melakukan audit menyeluruh terhadap program ini.
Program prioritas bukan berarti bebas dari hukum. Jika tata kelola diabaikan demi pencitraan politik sesaat, maka yang lahir bukan kemajuan, tapi potensi masalah hukum di kemudian hari.