Karawang, MEDIASERUNI – Faktor psikologis, khususnya bias overconfidence, dapat memengaruhi keputusan investasi. Bias ini sering kali mendorong perilaku pengambilan risiko yang berlebihan, yang berpotensi memengaruhi hasil investasi secara signifikan.

wawasan baru tentang Behavioral Finance ini terungkap melalui diskusi dengan Dr. Tiar Lina Situngkir, S.E., M.M., dosen pengampu mata kuliah Manajemen Keuangan Internasional, Universitas Singaperbangsa Karawang (Unsika).

Diskusi ini terjadi ketika tim penulis sedang melaksanakan perkuliahan, tim mendapat pemahaman lebih mendalam tentang bagaimana faktor psikologis, khususnya bias overconfidence, dapat mempengaruhi keputusan investasi dan menyebabkan perilaku pengambilan risiko yang berlebihan.

Dalam dunia investasi, di mana rasionalitas diharapkan mendominasi, ternyata faktor psikologis memiliki peran yang sangat signifikan. Salah satu bias kognitif yang paling sering ditemui adalah overconfidence.

Bias ini membuat individu cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka dalam memprediksi pasar, mengelola risiko, dan membuat keputusan investasi yang tepat. Esai ini akan membahas secara mendalam tentang bias overconfidence, dampaknya terhadap perilaku investor individu, serta strategi untuk mengatasinya.

Dalam bentuknya yang paling dasar, terlalu percaya diri dapat diringkas sebagai keyakinan yang tidak beralasan pada penalaran, penilaian, dan kemampuan kognitif intuitif seseorang.

Meskipun konsep terlalu percaya diri berasal dari eksperimen psikologis dan survei di mana subjek melebih-lebihkan kemampuan prediksi mereka sendiri dan ketepatan informasi yang telah diberikan kepada mereka (pada dasarnya kelemahan kognitif), kognisi yang salah ini mengarah pada perilaku emosional.

Seperti pengambilan risiko yang berlebihan, terlalu percaya diri diklasifikasikan sebagai bias emosional daripada kognitif. Singkatnya, orang berpikir mereka lebih pintar dari yang sebenarnya dan memiliki informasi yang lebih baik daripada yang sebenarnya.

Misalnya, mereka mungkin mendapatkan tip dari penasihat keuangan atau membaca sesuatu di Internet, dan kemudian mereka siap untuk mengambil tindakan, seperti membuat keputusan investasi, berdasarkan keunggulan pengetahuan yang mereka rasakan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Rabbani dkk., (2024) memperkuat bukti overconfidence bias dialami oleh investor, hasil penelitiannya menunjukan bukti kuat tentang perilaku terlalu percaya diri (overconfidence) di pasar modal Italia selama krisis COVID-19.

Baca Juga:  Aep Syaepuloh di Kutawaluya: Jabatan itu Amanah Bukan untuk Memperkaya Diri

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Hartiyaningsih & Rachmansyah, (2018) menunjukan bahwa Investor di Bursa Efek Indonesia (Index LQ45 periode 2014-2016) mengalami overconfidence yang mana ditunjukan oleh meningkatnya volume perdagangan ketika investor memperoleh return yang tinggi di masa lalu.

Investasi dengan nominal kecil sering kali memicu sikap terlalu percaya diri pada investor, karena mereka merasa risiko kerugian yang kecil tidak memerlukan kehati-hatian yang serius. Sikap ini dapat mengarahkan pada keputusan investasi yang impulsif dan kurang rasional.

Tingkat kepercayaan diri seseorang juga sangat dipengaruhi oleh umpan balik yang diterima; pujian berlebihan dapat meningkatkan rasa percaya diri secara berlebihan, sementara kritik tajam dapat menurunkan kepercayaan diri, menyebabkan fluktuasi yang ekstrem dan mengganggu proses pengambilan keputusan.

Dalam banyak kasus, overestimate terjadi ketika investor melebih-lebihkan kemampuan atau pengetahuannya, yang pada akhirnya menyebabkan mereka meremehkan risiko dan terlalu optimis terhadap hasil investasi.

Overconfidence sering kali disebabkan oleh kecenderungan untuk berpikir terlalu optimis dan berlebihan terhadap keyakinan, kemampuan, serta kepercayaan diri mereka dalam berinvestasi.

Selain itu, kemudahan akses informasi melalui media sosial sering kali memperkuat rasa percaya diri tersebut, namun tidak semua informasi yang beredar akurat, dan investor yang terlalu percaya diri dapat mengambil keputusan tanpa analisis yang mendalam.

Akibatnya, banyak investor terburu-buru dalam mengambil keputusan investasi tanpa memahami analisis fundamental perusahaan, yang memperburuk kondisi ketika mereka memilih saham yang tidak sesuai dengan profil risiko.

Overconfidence bias mengakibatkan investor menjadi meremehkan, mengabaikan, menaksir terlalu rendah risiko yang kemungkinan terjadi di masa mendatang. Investor yang mengalami overconfidence bias cenderung mengambil keputusan investasi yang lebih agresif.

Terutama dalam kondisi pasar yang penuh ketidakpastian seperti selama pandemi COVID-19. Mereka seringkali mengabaikan risiko pasar dan lebih mengandalkan intuisi pribadi daripada analisis data yang mendalam, sehingga meningkatkan frekuensi dan volume transaksi.

John R. Nofsinger, seorang akademisi dan penulis yang dikenal karena karyanya dalam bidang behavioral finance, juga menyatakan dampak dari bias overconfidence adalah investor menjadi berdagang lebih sering daripada investor biasa sehingga menghasilkan pengembalian yang lebih rendah.

Baca Juga:  Ciparage Run 2024, Perpaduan Olahraga dan Sosialisasi Pilkada Karawang

Perilaku overconfidence dalam berinvestasi dapat dikurangi melalui upaya bersama individu dan institusi. Perilaku overconfidence menurun jika pelaku investor sudah dapat menyeimbangkan antara pengalaman yang dimiliki, wawasan, dan informasi serta mempertimbangkan tren dan data yang ada sehingga perilaku overconfidence dalam berinvestasi akan stabil.

Selain itu, peran pemerintah dalam menciptakan lingkungan investasi yang kondusif sangat penting. Kebijakan yang tepat dapat memberikan rasa aman bagi investor dan mendorong terciptanya pasar yang sehat dan transparan.

Dengan demikian, investor dapat berinvestasi dengan lebih percaya diri namun tetap berhati-hati, sehingga meminimalisir risiko kerugian yang mungkin terjadi.

Penelitian-penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Khairiyati & Krisnawati, (2019) dan Syahaya dkk., (2024) telah mengkonfirmasi pentingnya literasi keuangan dan regulasi yang baik dalam mendukung pengambilan keputusan investasi yang rasional.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa overconfidence bias, yakni kecenderungan psikologis untuk melebih-lebihkan kemampuan dalam memprediksi pasar, merupakan akar utama dari pengambilan risiko investasi yang tidak perlu.

Investor yang terjebak dalam bias ini seringkali meremehkan risiko inheren dalam investasi, mengambil keputusan yang terlalu agresif, dan melakukan perdagangan yang berlebihan.

Faktor-faktor seperti investasi awal yang kecil, umpan balik positif yang berulang, dan kemudahan akses informasi melalui media sosial semakin memperparah kondisi ini. Akibatnya, investor cenderung melakukan transaksi yang tidak perlu dan berpotensi mengalami kerugian yang lebih besar.

Dalam mengatasinya, peningkatan literasi keuangan, kebijakan pemerintah yang mendukung, serta kesadaran diri investor sangatlah penting. Dengan menyeimbangkan pengalaman, wawasan, dan data objektif, investor dapat membuat keputusan yang lebih rasional dan mengurangi risiko kerugian dalam investasi mereka. (*)

Penulis: Tim Diskusi Mahasiswa Unsika
Sumber: Diskusi mahasiswa Program Studi Manajemen dan Bisnis Universitas Singaperbangsa Karawang: Adrian Daniel Saputra, Ariska Apriyanti, Hezkiel Oktavianus, Kristina Tanika Putri, Mochamad Ikhsan Salis, Novy Fitri Khotimah bersama Dosen Manajemen Keuangan Internasional Dr. Tiar Lina Situngkir., S.E. M.M.