MEDIASERUNI.ID – Umat Islam menyambut dengan gegap gempita datangnya bulan Ramadan, bahkan Ramadan ini selalu disebut-sebut dalam untaian doa oleh umat Islam, baik pada saat kegiatan Tabligh Akbar pada Bulan Rajab dan di akhir bulan Sya’ban.

Doa itu yang artinya; “Ya Allah, berkatilah kami pada Bulan Rajab dan Bulan Sya’ban. Sampaikan kami dengan Bulan Ramadan.”

Bulan yang dinanti-nantikan itu, akhirnya tiba. Pemerintah melalui sidang isbat menetapkan tanggal 1 Ramadan 1446 H bertepatan dengan 1 Maret 2025. Tentunya, kita bersyukur karena dipertemukan kembali dengan Bulan Ramadan dan kita harus mengisinya dengan sebaik-baiknya.

Ibarat gawai yang baterainya sudah lemah, maka perlu diisi kembali. Begitupun dengan ibadah kita selama di bulan selain Ramadan, bisa jadi kita jarang membaca Al-Qur’an, salat berjamaah, bersedekah, dan sikap positif lainnya.

Maka, bulan Ramadan ini menjadi momentum kita kembali di-charge untuk meningkatkan amal saleh dan berdampak pada bulan-bulan selanjutnya selepas Ramadan.

Puasa (shaum) secara bahasa berarti menahan diri. Sedangkan secara istilah, saum memiliki arti menahan diri dari makan, minum, hubungan suami istri, dan hal-hal yang dapat membatalkan puasa dari sejak terbit pajar sampai terbenam matahari.

Berpuasa bukan hanya menahan lapar dan dahaga semata, namun juga menahan dari perkataan yang kotor (keji) dan perbuatan jahat, serta perilaku negatif lainnya.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw penulis kutip dalam bukunya Abul A’la Maududi (1984:166), artinya: “Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan yang keji (dusta) dan melakukan kejahatan (kepalsuan), Allah tidak akan menerima puasanya, sekalipun ia telah meninggalkan makan dan minum.” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ahmad dari Abu Hurairah r.a.).

Baca Juga:  Pemkab Karawang Larang ASN Gunakan Kendaraan Dinas untuk Liburan Tahun Baru

Berdasarkan hal itu, apa esensi berpuasa di Bulan Ramadan? Penulis kutip dalam bukunya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya Kuliah Ibadah, Ibadah Ditinjau dari Segi Hukum dan Hikmah halaman 210 – 211 menjelaskan terkait dengan esensi puasa dalam hal ini puasa di bulan Ramadan, yaitu;

Pertama, menunjukkan tabiat bahimiyah kepada tabiat malakiyah dan menghalangi tabiat malakiyah dari dipengaruhi oleh tabiat bahimiyah.

Tidak dapat kita tundukkan tabiat bahimiyah, melainkan dengan melemahkan tenaganya dan menambahkan kuatnya tabiat malakiyah. Melemahkan tenaga bahimiyah, ialah dengan menghilangkan sebab-sebab yang menimbulkan kekuatannya.

Sebab-sebab itu makan, minum, bergelimang dalam kelecatan syahwat. Inilah sebabnya seluruh orang yang ingin lahirnya tabiat malakiyah dan tersembunyi tabiat bahimiyah, menyedikitkan makan, minum, dan kelezatan-kelezatan syahwat.

Dipandang buruk orang yang berpuasa memperbanyak berbagai makanan dan memuaskan syahwat makan ketika berbuka dan bersahur.

Kedua, mendidik para mukmin supaya berperangai dalam sebagian waktunya dengan suatu perangai Allah dan mendidik mereka menyerupakan diri sekadar mungkin dengan malaikat, yaitu terlepas dari hawa nafsu.

Ketiga, membiasakan orang yang berpuasa bersabar dan tahan menderita kesukaran. Menahan diri dari makan dan minum, menguatkan kemauan dan sabar dapat menahan kesukaran-kesukaran.

Keempat, memperingatkan diri dengan kehinaan dan kemiskinan. Maksudnya, orang-orang yang berpuasa merasa benar kebutuhannya akan makanan dan minuman. Orang-orang yang membutuhkan sesuatu, dipandang hina terhadap yang dihajati itu.

Baca Juga:  Pangdam III/Slw Mayjen TNI Dadang Arif Abdurahman Meninjau Latkodalopstis Kostrad 2024

Dan yang demikian itu pula, menimbulkan kemauan menghindarkan diri dari kesombongan dan ketakaburan dan menumbuhkan dalam hati kemauan menggauli manusia dengan lemah lembut dan baik.

Kelima, memelihara jiwa tersungkur ke dalam kancah dosa. Inilah hikmah dari sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa tidak sanggup membelanjai istri, sedang dia mempunyai keinginan beristri, hendaklah ia berpuasa; karena puasa itu melenyapkan gejolak syahwatnya.”

Keenam, menggerakkan orang kaya merahmati orang yang fakir dan menyelesaikan kebutuhan mereka. Orang yang berpuasa merasakan dalam ia berpuasa itu kesukaran lapar dan kepedihan haus.

Hal itu dapat menimbulkan dalam jiwanya kemauan memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan makanan atau minuman.

Dan inilah sebabnya di kala orang bertanya kepada Nabi Yusuf: Mengapa Tuan lapar (menahan lapar) padahal Tuan memegang perbendaharaan negara?” Nabi Yusuf menjawab: “Saya takut kenyang yang akan menyebabkan saya lupa kepada orang yang lapar.”

Ketujuh, memperoleh berbagai faidah kelaparan, yaitu jernihnya pikiran dan tembusnya penglihatan mata hati. Nabi Muhammad Saw bersabda “Barang siapa lapar perutnya, besarlah pikirannya dan cerdiklah jiwanya.”

Demikian esensi berpuasa, semoga kita diberikan kekuatan untuk menjalani ibadah puasa ini dengan diisi berbagai amal soleh. Aamiin. (*)

Dadan Saepudin
Ketum PD PGMNI Kabupaten Bandung Barat