MEDIASERUNI – Pagi itu di pajak (baca; pasar) Kampung Martoba tampak ramai. Saat itu, pasar Martoba memang menjadi pusat jual beli. Pengunjung yang datang rata-rata kaum kuli kontrak. Kampung inilah yang menjadi tujuan Haji Usman.

Beberapa pengunjung pajak tengah membicarakan Hutan Laras yang berhasil dibuka Kompeni Belanda. Mereka pun menyebut nama Surak, kuli kontrak yang berhasil menumbangkan pohon beringin tua yang konon pintu gerbang suku bunian, yakni bangsa jin penghuni asli pulau Sumatera.

Beringin tua berusia ratusan tahun itu memang sudah sangat terkenal di kalangan masyarakat Batak. Jangankan yang berniat mencari burung disekitar pohon beringin, bahkan cuma hanya berteduh saja, alamat takan pernah kembali lagi ke rumah, alias hilang secara aneh.

Namun, yang membuat orang terheran-heran, pohon beringin angker itu justru ditumbangkan hanya dengan membaca surah Al-Iklas. Dengan ayat itu juga kabarnya Surak membawa keluar orang-orang yang terjebak di kampung bunian tersebut.

Kompeni Belanda pun tak bisa berbuat banyak, kecuali menghadiahi jabatan Mandor kepada Surak, seperti yang mereka janjikan sebagai hadiah apabila berhasil menumbangkan pohon beringin ratusan tahun yang merupakan gerbang masuk alam suku bunian.

Baca Juga:  HAJI USMAN (2)

“Kabarnya dia itu santri dari Jawa Barat. Apa iya, aku pun dari Jawa Barat,” ucap Sarmin dan melirik Beni, orang disebelahnya yang merupakan warga asli Batak. “Bah! Kau nyama-nyamain aja. Lihatlah, nama kau itu Sarmin, mana ada orang Jawa Barat namanya Sarmin.”

Sarmin cuma mengekeh kecil. Beni jadi sewot. “Jawa, kau! Kulit kau aja gosong, orang Jawa Barat bersih kulitnya.” Dan, Sarmin pun tertawa ngakak. “Sudah! Sudah, aku memang dari Jawa Tengah, tapi tetanggaan Jawa Barat.”

“Bah! Gitu baru pas.” Beni dan Sarmin ketika itu berada di warung kopi. Kedua orang itupun lantas tertawa gelak-gelak. Mereka memang becokok-becokok pajak Martoba. Pedagang membayar uang kebersihan dan keamanan kepada mereka.

Uang hasil kebersihan dan keamanan sebagian mereka setorkan ke opas kompeni berkulit hitam yang datang setiap tutup pasar. Opas-opas Kompeni kala itu kebanyakan dari Ambon.

Sarmin dan Beni mendadak hentikan bicara ketika didepan mereka melintas dua wanita. “Waduh, ada Tjinten, gawat! Sebaiknya kita ngumpet. Orang itu ujudnya aja perempuan aslinya semi laki. Tinju dan sepaknya (baca; tendangan) melebihi kuatnya laki-laki tulen.”

Baca Juga:  Cuma Keturunan Siliwangi Bisa Cabut Pedang Suryakencana yang Tertancap di Batu

Selesai bicara keduanya bersiap nyelinap diantara kerumunan orang yang sedang berbelanja. Namun terlambat, Tjinten keburu memergoki keduanya. “Woii! Mau kemana kalian!”

Mendengar teriakan itu, sekalian pengunjung langsung menoleh kearah telunjuk Tjinten. “Mak! Bakalan bonyok lagi kita nih,” berbisik Beni. Sarmin cuma diam seperti patung. “Eh, iya, Yu Tjinten, apakah kami…”

“Iya, kalian! Menjelek-jelekan aku lagi!?”
“Eh, ti-tidak, tidak berani kami menjelekan Yu Tjinten. Saat itu perempuan bernama asli Misem ini sudah tegak dihadapan mereka. “Ngaku! Kalian pasti bilang aku laki-laki!”
“Eeh, tiidakk. Sama sekali tidak.”

Tjinten alias Misem hujamkan tatap kearah Beni dan Sarmin. “Hmm, baiklah. Dan, ingat. Kalau aku lihat kalian masih bersama opas item itu dan munguti uang keamanan dan kebersihan sama pedagang kupatahkan tangan kalian.”

“Eh, i iya, iyaaa…” Tjinten tolehkan wajah mendadak kekiri. “Hmm, Srinti… Mau kemana dia…” Barusan itu Tjinten menyaksikan kelebatan hitam keluar dari kerumunan orang-orang dan masuk ke dalam hutan. Maka, tanpa banyak bicara peremluan bernama asli Misem itupun melesat mengejar Srinti. (Bersambung)

Cerita ini hanya fiktif belaka jika ada kesamaan nama dan tempat hanya merupakan kebetulan semata.