MEDIASERUNI – Kehadiran Haji Usman di Tanah Deli memang telah menyibukkan kompeni belanda dewasa itu. Para kalifah (baca; ulama) mulai terang-tererangan mendukung Haji Usman. Keadaan inilah yang membuat pemerintah kompeni mulai cemas.
Pemerintah kompeni sadar, kalifah-kalifah itulah pewaris-pewaris ‘Pekik Persatuan’ yang hanya dimiliki umat Islam. Tidak heran jika mereka pun melepas telik-telik sandi jempolan dan tokoh-tokoh sakti bayaran untuk meringkus Haji Usman.
Keberadaan Haji Usman di Tanah Deli pun telah menyebar hingga seantero Aceh dan Tanah Deli. Kabar kiai dari Jawa itu akan ke Tanah Batak pun sudah pula tersirab oleh Kompeni.
Kabar ini juga sampai ketelinga Mahisa, Panglima Laskar Macan Hisbullah Aceh yang telah lama menghilang dari Tanah Aceh, sejak peristiwa di Lembah Berjuntai Aceh. Kabarnya Mahisa kembali ke Perguruan Walet Putih menemui Raden Rebo, putranya yang kini beranjak remaja.
Kehadiran Haji Usman di Tanah Deli inilah yang membuat manusia dipercaturan persilatan dijuluki Pendekar Walet Putih, keluar padepokan. Kabar bahwa Mahisa membawa surat rahasia Panglima Besar Aceh, Raden Barsil Wuning, memang santer terdengar. Bahkan kompeni belanda sampai menyiapkan hadiah besar untuk menangkap Mahisa.
Saat itu, sebuah bayangan kelabu terlihat berlari cepat menembus gelapnya malam. Bayangan itu tertangkap cahaya bulan yang bersinar terang. Melihat caranya berlari tentulah dia seorang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Paling tidak bisa ditandai melihat kakinya seolah tidak menjejak tanah.
Jauh dibelakangnya dua kelebatan hitam nampak membuntuti. Keduanyapun tinggi pula ilmu kepandaiannya. Mereka sama cepatnya.
“Jahanam! Manusia itu hampir tidak terlihat!” Teriak salah satunya. Dialah Tengku Aba. Temannya bernama Tengku Layang menyahuti. “Makanya, pasang matamu baik baik. Jangan sampai kita kehilangan jejaki.”
Dua orang ini merupakan tokoh-tokoh silat Aceh berkepandaian tinggi. Mereka bekerja untuk kompeni belanda. Tengku Aba tajamkan pandang kedepan. “Tidak keliru penglihatanku, dia memang Mahisa, buronan kompeni.”
Memang, bayangan kelabu didepan mereka memang Mahisa adanya. “Hmm, aku bercuriga, mengapa Panglima Besar Aceh begitu tolol membiarkannya keluar tanah Aceh. Itukan berarti menggiring kembali macan masuk kekandang. Bukankah buronan itu yang justru jadi kekuatan laskar Aceh.”
Tengku Layang mendengus. “Huh! Baguslah kau menyadari. Itu tanda otakmu mulai encer.” Tengku Aba mendengki. “Setan! Kau menganggap dirimu saja yang pandai. Fuah!”
Tengku Layang malah tertawa tergelak. “Sudanlah! Lebih baik pusatkan mata kedepan!”
Selesai bicara dua tokoh silat hebat Tanah Aceh itu lipat gandakan tenaga dalam. Sekali keduanya menggembor tubuhnya melesat cepat laksana terbang.
Dan, masih sekali lagi mereka lipat gandakan tenaga ke bawah sebelum mendadak Tengku Aba membentak. “Setan! Serahkan dirimu buronan!”
Mahisa hentikan lari. Dia sadar sejak tadi dua orang dibelakangnya membuntuti. Maka, sekali menggembor tubuhnya mencelat dan berhenti lima langkah didepan dua tokoh sakti bayaran kompeni belanda. “Apa maumu kape-kape (baca; kapir, sebutan untuk pengkianat) durjana!”
Dihadapan Tengku Aba dan Tengku Layang detik itu tegak seorang setengah baya dengan rambut riap-riapan panjang ke pung- gung mengenakan ikat kepala putih. Jubah yang kelabu berkibar- kibar dihembus angin malam, sebilah parang terselip dalam lilitan berkepala Rajawali yang bagian belakangnya dicanteli lima buah gelang terbuat dari baja murni.
Alis mata tebal dengan sorot mata tajam, terhujam dalam menyorot dingin sosok didepan. Tengku Aba perdengarkan suara didada. “Heh! Sudah aku duga engkaulah manusianya si jahanam Mahisa!”
“Kalian kape-kape durjana, membuntutiku mau apa!” Mahisa mendengki. Tengku Aba tertawa. “Hai, Mahisa! Kaupun ikut pula melarikan diri. Bagus…, bagus, ha, ha, ha. Dengan begitu samakin muda kompeni menguasai Aceh. Ha, ha, ha.”
“Kafe durjana! Pasang kuping lebar-lebar. Kalian orang Aceh, tapi menggadai negeri sendiri. Leluhur dan rakyat Aceh mangutuk kalian. Panas tanah Aceh, terinjak kaki kalian.”
Tengku Layang menyergah. “Fuah! Omong kosong! Pada saat ini pejuang-pejuang Aceh kian terdesak hebat. Kalau engkau sendiri melarikan diri, itu sudah cukup menerangkan, tidak lama lagi kompeni belanda akan menguasai Aceh.”
“Pertama, jangan bermimpi kompeni bisa berkuasa di Aceh. Kedua, buka kuping kalian, aku tidak melarikan diri!” Tengku Layang melotot. “O ya… Lalu mengapa engkau berada ditanah Deli!?”
Disitu Mahisa tersadar. Dua orang itu hendak menjebaknya, mencoba mengorek keterangan tentang kehadirannya di Tanah Deli untuk menyampaikan surat rahasia Panglima Besar Aceh. “Jahanam! Tutup mulut kotormu, kape-kape durjana!”
Tengku Abapun tertawa keras. “Hm, hm, hm. Kau bilang tak melarikan diri. Percaya aku, percaya seratus persen. Kau keluar Aceh tentu tidak meninggalkan kancah pertempuran. Begitukah?! Sudah tentu. Sebab kaulah seorang patriot sejati yang tak pernah lari dari medan pertempuran. Kalaupun kini berada di Deli tentulah membawa urusan penting. He, he, he. Dan urusan itu…, tentunya sebuah surat yang dititipkan padamu. Bukankah begitu…?!”
Merah padamlah wajah Mahisa. Ia merasa dipermainkan. “Kape- kape jahanam! Apa maksud kalian!?”
“Setan! Masih belagak pilon! Bukankah engkau sahabat Panglima Besar Aceh dan sekaligus orang kepercayaannya. Pada saat ini dia merasa tak sanggup lagi menghadapi kekuatan kompeni. Itulah sebabnya ia mengirimmu keluar untuk minta bantuan. Ha, ha, ha. Sudahlah. Lebih baik serahkan saja surat itu pada kami. Dan menyerahlah secara baik baik. Kami takan melukaimu.”
“Haram bagi rakyat Aceh berucap kata menyerah. Apalagi menyerah kepada kompeni. Catat itu!” Selesai bicara, Mahisa langsung loloskan parang dipinggang. Agaknya Mahisa tak ingin berlama-lama.
Sebentar Mahisa mengembor, tenaga dalam langsung mengalir ke parang. Sesaat itu, asap tipis berwarna kelabu seperti menutupi bagian parang. Awalnya tipis, namun makin lama kian tebal hingga akhirnya membuntal – buntal. Dalam sekejap itu, bau belerang menebar ke udara.
“Parang Setan….!” Tengku Aba dan Tengku Layang bersamaan tercekat. Tak menyangka mereka bahwa Mahisa memang memiliki parang legendaris itu. “Jadi, parang ini benar-benar ada, dan manusia ini benar memilikinya….” (bersambung)