Hanya saja, dia melarang Mandor Surak membantunya, karena Mahisa sadar inilah takdir yang akan menjemputnya. Dan, Raja Siluman merupakan perantara dari takdir Mahisa. “Setidaknya, biarlah aku membantu memulihkan aliran darahmu, sobat.”
Mahisa pun tersenyum, setelah barusan dia melihat Safei dan Satria menyalami Mandor Surak. “Sobat, terima kasih, tapi usah, rasa sudah tidak kuat aku. Uhuuk…” Mandor Surak pun menyadari, kondisi Mahisa memang sudah tidak tertolong, bagian-bagian vital kehidupan dalam tubuhnya sudah hancur.
Mahisa menatap lekat wajah putranya. “Dengar ayah, nak. Tadi ayah berselisih pendapat dengan sahabat ayah. Tapi sudah tuntas, dan kami sama sama saling menyadari. Ia pun terluka parah seperti ayah, jangan engkau mendendam, dan…” Mahisa menatap muridnya Satria. “Engkau juga Satria, jangan mendendam, ini adalah takdirku, aku titipkan padepokan ini padamu.”
Satria cuma diam tertunduk. Safei mempererat pelukannya. “Jangan tinggalkan aku ayah….” Tubuh Mahisa mulai dingin, wajahnya pusat pasi. “Dengar nak, tak tahan ayah, dengarkan ayah… ingat nama ini nak, nama ini… Utusan Sisingamangaraja…. Kelak carilah orang itu, bantu perjuangannya…”
“Ayaahh”
“Guruuu”
Mahisa menatap Mandor Surak… “Sobat… Aaakuu, titip anakkkuuu… aaakh..” Mandor Surak segera meraih tubuh Mahisa. “laa ilaha illallah Muhammadarrasulullah….” Mahisa pun menghembuskan napas terakhirnya diiringi teriakan histeris Bagus Ahmad Safei… (Azhari/Tamat)