Mediaseruni.co.id – Peperangan di Tanjung Kali Mati bukan berlatar belakang agama, melainkan karena kekuasaan dan martabat. Tahta Majapahit yang diinginkan.
Para santri hanya coba mempertahankan martabatnya sebagai warga negara yang patuh pada rajanya, yang keselamatan dan harga dirinya terinjak-injak.
Mahisa Kicak pun, bisa jadi, diapun seorang muslim juga orang-orang bersamanya. Apalagi dia itulah murid istimewa Kanjeng Siti Jenar yang memang adalah penyiar islam, yang namanyapun begitu kesohor di bumi Pajajaran.
Sayangnya, Mahisa Kicak inipun termakan hasutan yang dipertuan di Keling yang menginginkan tahta Majapahit. Padahal tanpa direbut pun tahta itu bakal jatuh juga padanya.
Apalagi pada saat itu bukankah dia yang sudah bernama Wijaya Kesumah? Dan sudah jadi kebiasaan pula, para pemangku tahta Majapahit sebelumnya rumahnya di Kediri dan Keling dan bukankah juga selalu bernama Wijaya?
Kalau ditelusur, tidaklah ada orang jawa bernama Wijaya. Seumpama Patak Warak yang dipertuan di Keling itu, dia itulah Wijaya Kesumah. Akan tetapi, itulah yang terjadi. Inilah politik keras yang sulit untuk dipahami. Demi sebuah ambisi, nilai persaudaraanpun ikut dikorbankan.