Tengku Abapun tertawa keras. “Hm, hm, hm. Kau bilang tak melarikan diri. Percaya aku, percaya seratus persen. Kau keluar Aceh tentu tidak meninggalkan kancah pertempuran. Begitukah?! Sudah tentu. Sebab kaulah seorang patriot sejati yang tak pernah lari dari medan pertempuran. Kalaupun kini berada di Deli tentulah membawa urusan penting. He, he, he. Dan urusan itu…, tentunya sebuah surat yang dititipkan padamu. Bukankah begitu…?!”
Merah padamlah wajah Mahisa. Ia merasa dipermainkan. “Kape- kape jahanam! Apa maksud kalian!?”
“Setan! Masih belagak pilon! Bukankah engkau sahabat Panglima Besar Aceh dan sekaligus orang kepercayaannya. Pada saat ini dia merasa tak sanggup lagi menghadapi kekuatan kompeni. Itulah sebabnya ia mengirimmu keluar untuk minta bantuan. Ha, ha, ha. Sudahlah. Lebih baik serahkan saja surat itu pada kami. Dan menyerahlah secara baik baik. Kami takan melukaimu.”
“Haram bagi rakyat Aceh berucap kata menyerah. Apalagi menyerah kepada kompeni. Catat itu!” Selesai bicara, Mahisa langsung loloskan parang dipinggang. Agaknya Mahisa tak ingin berlama-lama.