Tengku Aba menyeringai. “Hmm. Jadi, benarlah kabar itu bahwa senjata mustika ini ada padamu.”
Macan Hisbullah Aceh alias Pendekar Walet Putih hanya perdengarkan suara didada. “Bagus! Kalian sudah mengenal mustika ini. Inilah senjata mustika Parang Setan! Nah, majulah kalian. Ringkus aku kalau kalian sanggup.”
Sedetik itu, asap kelabu berbau belerang kembali menebal begitu Mahisa mengemposkan tenaga dalam ke parang. Asap yang menebal jadi membuntal dan menebar bau belerang berpendar-pendar.
“Senjata hebat, senjata hebat. Bentuknya belum sempurna, tapi sudah menunjukkan pamor yang luar biasa,” Tengku Aba lalu mengerling. “Hai Mahisa! Meski saat ini kau berbekal parang mustika, jangan berpikir berarti bisa lolos dari kami.”
Mahisa cuma mendengus. Didepannya Tengku Layang gantian bersuara. “Sebaiknya menyerah saja. Kami akan meminta pengampunan untukmu, dan kompeni akan mengubah hidupmu layaknya seorang raja.”
Sebagai jawaban Mahisa bergerak kekiri. “Kalian meminta aku menyerah dan menyerahkan surat itu. Baiklah. Akan aku berikan. Tapi aku minta pajaknya kepala kepala kalian!”