MEDIASERUNI – TUAN Tanah Sarman baru keluar dari gedung megah yang menjadi kantor perkebunan Kompeni Belanda tadkala itu di Tanah Batak. Benaknya langsung tertuju pada Mandor Surak, anak muda gagah yang kini jadi menantunya.
“Bah! Tak kusangka hutan angker Laras akhirnya takluk. Hebat, hebat sekali anak Tasik (baca; Tasikmalaya) itu. Segala jin hantu belau Hutan Laras bisa dikalahkannya…”
Tuan Tanah Sarman beberapa kali menepuk sikut saking girangnya sambil kepalkan tinju. Saat itu dia dalam perjalanan pulang melintasi hutan Laras.
“Hutan Laras ini jadi abdeling bawahanku, tadi itu keparat kompeni bilang gitu,” ucap Sarman. Namun keningnya mendadak berkerut. Dia teringat Surodimedjo, pemuda gagah sepantaran Surak. Anak muda itupun hebat, cuma agak kasar karena memang berasal dari tempat yang kasar, Madiun, Jawa Timur.
Dahulu memang sempat terpikir ingin menjodohkan dengan Sarmina, putri semata wayangnya, yang sudah bercerai dengan pembesar kompeni di Surabaya. Sarmina kini telah tinggal bersamanya lagi, dan yang kini jadi istri Mandor Surak.
Sarman pun tak mau mengingat-ingat penderitaan Sarmina. Gara-gara dirinya yang berambisi ingin punya mantu pembesar kompeni anaknya yang sengsara. Kini Sarman hanya bisa berdoa Sarmina bahagia bersama Mandor Surak.
Masih teringat di benak Sarman betapa dahulu dirinya pucat pasi begitu dipanggil ke gedung megah kantor perkebunan kompeni belanda di Tanah Batak.
Penguasa kompeni di Tanah Batak sempat menyinggung soal Hutan Laras. Kompeni dewasa itu sangat berkeinginan membuka Hutan Laras menjadi perkebunan baru.
Keinginan ini yang mengusik pikiran Tuan Tanah Sarman, seorang perantau asal Banten, yang sukses jadi orang kepercayaan kompeni belanda.
Sarman ahli beladiri dan tinghi pula ilmu sihirnya. Namun, bicara soal Hutan Laras, di Tanah Batak ini, siapa yang tidak tahu keangkeran Hutan Laras yang dihuni suku bangsa gaib Bunian, jin sebangsa harimau yang terkenal sakti dan menguasai banyak ilmu siluman.
Jangankan menebang pohonnya nekat melintasi batas gerbang hutannya saja berat resikonya. Kalau tidak hilang ingatan alias gila, tubuh bakal raib secara aneh.
“Fuaahh! Kompeni keparat! Ini namanya ibarat buah simalakama, tak dituruti aku disikat dituruti aku yang disikat hantu belau Hutan Laras. Susah, susah ini…”
Teringat makiannya kala itu, Sarman pun jadi senyum-senyum sendiri. “Hehee, semua sudah berlalu. Hutan Laras sudah takluk, sekarang akan jadi perkebunan baru.”
Baru selesai dia berucap, mendadak dari kerimbunan belukar sebelah timur terdengar bentakan – bentakan keras. Karena penasaran Sarman langsung melesat mencari sumber suara.
Saat itu sosok mengenakan seragam hitam dengan ikat kepala ala suku baduy terlibat perkelahian dengan tiga orang, dua berpakaian kelabu, dan seorang berseragam serdadu kompeni berpangkat Sersan.
“Hah! Bukankah itu orang yang sering bersama Surak…” Tuan Tanah Sarman tajamkan pandangan. “Hmm, betulah, dia itu, tapi kenapa dia dikeroyok, dan pengeroyoknya, hm, tidak ada yang aku kenal, seperti bukan orang sekitar sini..”
Detik itu, lelaki berseragam serdadu disebelah kanan Pardjo membentak. “Kami tak kenal kau siapa! Kepandaianmu pun tak rendah. Tapi jangan kau kira kami tidak tahu, barusan orang bersamamu adalah Macan Hisbullah Aceh!”
Agaknya orang itulah pimpinannya, terbukti dua orang disamping seperti menjaga jarak dengannya. Pardjo, manusia berjuluk Si Kumbang Dari Kulon cuma pendengarkan suara didada.
“Kampret! Dari tadi kalian menyebut-nyebut Macan Hisbullah Aceh, aku tak kenal segala macam macan.”
“Bangsat! Ngaku saja! Tadi yang bicara denganmu memang Macan Hisbullah Aceh!”
“Bangsat kau bilang aku..! Kaulah yang keparat!” Dan memang wataknya yang berangasan layaknya macan kumbang, selesai bicara Pardjo langsung menerkam.
Tetapi terkamannya tidak sungguh-sungguh, karena gerakan berikutnya, justru tubuh meliuk sebelum berputar dan tahu-tahu lima jari sudah membentuk cakar langsung menyambar ganas. (Bersambung)