“Sahabat datuk, apakah engkau masih beranggapan parang ditanganku ini pusaka tanah batak…” Mahisa melirik parang ditangan kanannya. Aura aneh mendadak menebar, aroma belerang mendadak menyergap.
Raja Siluman sama sekali tak bergeming kecuali menatap tajam Parang Setan. Namun dia mulai merasakan kedahsyatan aura tersebut. Segera dia pun bentengi tubuh dengan aji Batara Karang.
Namun Mahisa sudah kembali melanjutkan serangan. “Ini cuma parang biasa, tak dapatlah disandingkan dengan kehebatan sahabat datuk.”
Raja Siluman cuma tertawa kecil. Aura batin yang menyerbu melalui aroma belerang Parang Setan berhasil dipatahkan. “Kawan Mahisa, aku tak peduli kau bilang itu parang biasa atau mustika. Sebagai kawan lama, hargai aku sebagai penduduk asli tanah ini. Berikanlah parang itu secara baik-baik padaku.”
Mahisa terjajar mundur. “Uhuk!” Sekejap Mahisa tempelkan Parang Setan didada. “Sahabat datuk, apakah engkau ingin jadi raja?” Mahisa menatap lekat wajah orang didepannya.
Bekas penasehat Sisingamangaraja kembali tertawa. “Sekarang ini, jadi raja atau rakyat biasa apa bedanya, kalau sama-sama diperas oleh kompeni.”