Sersan Bangkit terlempar kebelakang disertai darah segar menyembur dari mulut. Dia terbanting persis disebelah Anam dan Sanim yang tampak melap cairan kental di mulut mereka.
Ketiganya pegangi dada menahan sakit yang teramat, serasa hilang tenaga untuk berdiri. Dihadapan mereka Pardjo cuma perdengarkan suara di dada. “Keparat – keparat kompeni. Hari ini kuampuni nyawa kalian, tapi kali lain bertemu jangan harap kalian masih bisa bernapas.”
Selesai berucap, Pardjo manusia berjuluk Si Kumbang Dari Kulon lantas melesat pergi. Namun sekejap dia kaget ketika mengerling kerimbunan belukar di kanan. “Hah… Tuan Sarman….” Jelas tadi keningnya berkerut, merasa heran. “Sepertinya sudah lama disana. Mampuslah aku, sepertinya tak dapat lagi berahasia dengannya…”
Namun Pardjo tak menganggap tuan tanah Sarman sebagai ancaman, apalagi sekarang dia itulah mertua Mandor Surak, sahabatnya. Maka berpikir begitu, pelarian pejuang Banten itupun melanjutkan larinya, dan menghilang di kerimbunan hutan. (Bersambung)