MEDIASERUNI – Tuan Tanah Sarman baru saja sampai rumah, langsung disambut Nyai Sarmina, putri semata wayangnya. Sebelum jadi isteri Mandor Surak, orang kampung dan pekerja kebun memang sudah menyebutnya Nyai.
Tuan Tanah Sarman langsung menyeruput kopi hitam pahit yang disajikan Sarmina. Namun dahinya terlihat berkerut. Ada keheranan dihatinya, sekaligus merasa tak percaya, bahwa apa yang disaksikannya di pinggir hutan Laras benarlah Ilmu Silat Kumbang Dari Kulon.
Maklumlah, Tuan Tanah Sarman juga memiliki Ilmu Silat Kumbang Dari Kulon. Ilmu silat itu didapatnya di Banten dari seorang Pu’un (sebutan kepala suku Badui). Bahwa tadi itu jelas manusia bernama Pardjo memainkan ilmu silat itu dengan tangkasnya tentulah mengganggu pikirannya.
Sarmina di kalangan percaturan persilatan dijuluki Pendekar Pedang Daun Tebu tak memyembunyikan keheranannya menyaksikan dahi ayahnya berkerut tebal langsung bertanya.
Namun Tuan Tanah Darman malah balik bertanya keberadaan Mandor Surak, suaminya. “Masih di kebun, bapak. Ada apakah…” Sarmina gantian keheranan. Tidak biasanya pulang dari kebun bapaknya langsung menanyakan kabar suaminya.
“Ah, tidak apa apa, bapak cuma mau bertanya anak muda yang sering bersama suami Nyai, eeh, namanya siapa?”
Sarmina tak langsung menjawab, sesaat dia mencerna raut wajah didepannya. “Pardjo, bapak, kenapakah dengan dia.”
“Oh, tidak ada apa-apa. Nng, apakah asalnya dari Banten.” Gantian Sarmina yang bercuriga. “Iya, bapak, abang Mandor pernah bercerita asal temannya dari Banten.”
Mendengar itu Tuan Tanah Sarman langsung terdiam. Tapi benaknya kembali bekerja. “Hmm, jadi benar, dia itulah pentolan penjuang Banten. Kabarnya, laskarnya telah dihancurkan kompeni di Sunda Kelapa, waktu menyerbu markas Ujang Udik…”
Tuan Tanah Sarman seperti mengingat-ingat. “Ya, yaa, betul. Dan kompeni memang tidak menemukan mayat keduanya… Hmm, kalau tadi itu Si Kumbang Dari Kulon, berarti orang berjuluk Pendekar Sambar Nyawa itu, jangan-jangan ada di tanah Batak…”
Berpikir begitu Sarman kembali memanggil Sarmina yang tadi sudah pamit kembali ke dapur. “Eh, suamimu apa pernah menyebut-nyebut nama Sambar Nyawa…”
Mendengar itu, Sarmina langsung tergugu. “Sambar Nyawa.., belum pernah. Apakah itu nama orang.” Tuan Tanah Sarman tak menjawab, malah menatap tajam Sarmina. “Hmm, sepertinya ada yang dirahasiakan si Nyai dariku. Aku bercuriga, Surak inilah orang berjuluk Pendekar Sambar Nyawa…”
Namun, dihadapan putrinya tak ingin dia memperlihatkan kecurigaan. “Tadi bapak lihat orang berkelahi di pinggir hutan. Satu lawan tiga, dan yang dikeroyok itu orang yang sering bersama suami Nyai. Dia hebat, tiga pengeroyoknya berhasil dikalahkan.”
Mendengar itu Sarmina terang terkejut, namun berusaha disembunyikan. Dia tak ingin bapaknya semakin curiga. “Siapa para pengeroyak itu, pak.”
“Entahlah, bapak ndak kenal. Sepertinya bukan orang sekitar sini. Tapi seorang diantaranya berseragam kompeni.”
“Serdadu kompeni…”
“Iya, dua orang bersamanya seperti pendekar Melayu, sepertinya mereka pengawal Kota Deli.”
“Sampai ke tanah Batak, mereka patroli?”
“Bukan patroli, kayaknya mereka mengejar buronan. Dan, tadi bapak sempat dengar mereka menyebut-nyebut nama Macan Hisbullah Aceh, bukankah itu nama pemimpin pejuang Aceh…”
Disitu, Tuan Tanah Sarman terdiam. Sarmina mulai merasa was-was. Dia sadar, meski bapaknya selalu berpihak pada orang-orang kampung, tetapi bapaknya inilah pegawai kompeni.
Sadar kesitu, Nyai Sarmina alias Pendekar Pedang Daun Tebu, buru-buru mengalihkan pembicaraan. “Sudahlah, bapak capek dari kebun, bapak istirahat saja, Nyai kembali ke dapur masak masakan kesukaan bapak.”
Tuan Tanah Sarman pun langsung tersenyum. “Eh, iya.., sudah lama bapak mau makan ikan asap… Cepatlah selesaikan masakannya.” Sarman hanya memperhatikan anak semata wayangnya kembali ke dapur. (Azhari, Bersambung)