MEDIASERUNI – Pada dewasa itu kepala – kepala pelaksana perkebunan kompeni disebut tuan tanah, dan mandor besar pelaksananya, salah satunya Mandor Surak yang mencakup Hutan Laras dan jadi bagian perkebunan besar Dolok Masihul.

Mandor besar pun dibantu sejumlah mandor kecil yang mengatur tugas pekerja-pekerja kebun atau kuli kontrak, merekomendasikan calon-calon pekerja selain yang dibawa kompeni belanda dari berbagai daerah.

Saat itu, Ning Lestari baru saja menggebrak kudanya ketika dari arah belakang terlihat tiga ekor kuda dilarikan cepat menyusul kearah gadis adik Raden Alam Sati.

“Lancung, jangan sampai kita lehilangan jejak. Aku yakin gadis itu Cik Ayu Ning Lestari.” Orang yang bicara bernama Husni dan teman disampingnya Fadil. “Ya, aku juga merasa yakin, dialah adik Raden Alam Sati.”

Ketiganya lantas mempercepat lari kudanya. Namun melewati bagian jalan menikung ketika lantas hentikan kuda. Dihadapan mereka membentang jalan lurus lengang.

“Heh, kemana Cik Ayu…” Suara lancung tertahan. Husni menyahut. “Iya, tiba-tiba lenyap. Padahal tadi jelas didepan kita.” Disampingnya, Fadil cuma edarkan pandang.

Selagi tiga orang itu keheranan, dari arah belukar berlesatan tiga pisau kecil. Namun Lancung waspada. “Awasss!” Segera mengelak dan melompat dari punggung kuda diikuti Fadil dan Husni.

“Bajingan-bajingan tengik! Mata kalian perlu diajar adat, biar tidak kurang ajar!” Ning Ayu Lestari berkelebat dari balik belukar dan langsung serangan mematikan.

Baca Juga:  Kapolres Gerak Cepat, Warga Gerudug Mapolsek Tirtajaya Tuding Ada Oknum Polisi

Namun Lancung berteriak keras. “Cik Ayu, tahan seranganmu, ini kami…” Teriakan itu membuat Ning Lestari tarik mundur pedang, dan berdiri menatap tajam tiga orang di depan.

“Cik Ayu, ini kami. Saya Lancung, ini Fadil dan Husni. Kami bekas tukang-tukang kebun Gusti Alam Saka, pamanda Cik Ayu.”

Ning Lestari sontak tersadar, dan matanya langsung membulat. “Masyaallah… Pamanda sekalian rupanya. Aduuh, maafkan aku pamanda sekalian, hampir tidak mengenali pamanda.”

Ning Lestari pun menyalami tiga orang didepannya, sebelum keempatnya kemudian duduk dibawah pohon besar yang akarnya bertonjolan di permukaan tanah.

“Kami yang mestinya minta maaf tidak langsung menyapa Cik Ayu saat di rumah makan tadi. Kami lakukan itu karena khawatir ada mata-mata kompeni.”

Lancung yang bicara mewakili dua kawannya. Ning Lestari memerah wajahnya dan merasa malu hati karena sempat mengira tiga orang didepannya berniat kurang ajar.

Namun perasaan itu segera ditepis. “Eh, paman sekalian apakah sedang menjalan tugas berada disini jauh dari Perbaungan…”
Lancung spontan saling pandang dengan dua temannya. “Cik Ayu, apakah tidak memdengar Gusti Alam Saka tidak lagi di Perbaungan.”

“Pamanda Alam Saka pindah tugas, maksud paman.” Lancung pun melongo mendengar kepolosan gadis putri Pendekar Piring Pecah Seribu. Tetapi segera dia menyadari, kemudian menuturkan peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini di dalam istana.

Baca Juga:  PT Jasa Medivest Tingkatkan Pengelolaan Limbah B3 dengan 55 Kode Limbah Baru

Ning Lestari gadis beradat panasan. Memdengar nasib yang menimpah ayah dan pamannya, darahnya langsung memuncak. “Aku bersumpah! Inilah Pedang Selendang Mayang! Dengan pedang ini akan kutebas kepala-kepala kompeni yang telah memfitnah keluargaku!”

Pada saat menyebut nama Pedang Selendang Mayang, dari arah rerimbunan belukar sepasang mata terlihat membesar karena kaget. “Hmm, betullah Tjinten, itu memang Pedang Selendang Mayang. Jadi, gadis inilah cucu pendekar aneh bergelar Datuk Bertepuk Tangan… Hmm, hm, bagus, tebaslah sebanyak-banyak kepala kapir jahanam itu…”

Selesai bicara, sosok yang keseluruhan tubuhnya berbalut kain hitam, hingga menyisakan bagian mata saja terlihat, masih terlihat tajamkan pandang kearah Ning Lestari.

Sosok berselubung hitam itulah Sarmina, putri tuan tanah Sarman yang memutuskan menyelidiki sendiri siapa adanya Ning Lestari, yang dikabarkan Tjinten membawa pedang mirip Pedang Selendang Mayang.

Sarmina masih menyaksikan tiga orang bersama gadis didepannya pamit dan memacu kudanya balik arah ke arah Hutan Laras, sebelum berkebat masuk ke dalam hutan Dolog Masihul.

Namun gerakannya tertangkap Ning Lestari. “Haai! Berhenti…!” Disusul kelebatan cucu Datuk Bertepuk Tangan mengejar. (Azhari/Bersambung)