Ki Anom mengerenyit. Disebelahnya Ki Warta siaga. “Jangan-jangan benggolan, Ki.”
Ki Anom tabahkan hati. Setelah meminta Ki Warta amankan rombongan, dia pun melangkah maju. “Ki Sanak sekalian, siapa kalian, mengapa menghalangi perjalanan kami.”
Manusia yang membentak mendengus. “Kau bertanya siapa kami? Huh,Terbalik! Akulah yang bertanya siapa kalian. Sebab rawa ini masih wilayah Penging!”
Memang, rombongan petani Cirebon dan Rogojembangan saat itu telah memasuki Wilayah Penging, memutari Gunung Sumbing. Jalur itu merupakan jalan terdekat menuju Hutan Jatiwangi. Tetapi siapa sangka malah kesasar ke arah Rawa Penging yang terkenal banyak benggolannya.
“Oh, jadi ki sanak sekalian adalah orang Penging. Kalau begitu maafkan kami yang kesasar dan melintas di wilayah ki sanak.”
Ki Anom rangkapkan dua tangan dan menjurah hormat. Didepannya lelaki bertampang sangar malah mendengki. “Hmm, bagus kalau sudah paham. Nah, pentang kuping kalian lebar-lebar. Penging tak mengizinkan orang-orang seperti kalian melintasi wilayahnya. Paham!”