“Sekarang ini jika kita melihat saudara-saudari kita yang non-Muslim, mereka ini mencatat pernikahannya di pencatatan sipil. Padahal, itu seharusnya menjadi urusan Kementerian Agama,” katanya.
Di sisi lain, aula yang ada di KUA bisa diperuntukkan sebagai tempat ibadah sementara bagi umat non-Muslim yang masih kesulitan mendirikan rumah ibadah sendiri karena faktor ekonomi dan sosial.
“Bantu saudara-saudari kita yang non-Muslim untuk bisa melaksanakan ibadah yang sebaik-baiknya. Tugas Muslim sebagai mayoritas yaitu memberikan perlindungan terhadap saudara-saudari yang minoritas, bukan sebaliknya,” kata Yaqut.
Sementara, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian (KP) Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Henrek Lokra merespons rencana Menag Yaqut menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) bisa digunakan tempat pernikahan semua agama.
Henrek meminta rencana itu untuk dipertimbangkan dengan matang. Sebab, ia mengatakan di agama kristen, pernikahan adalah urusan privat. Gereja, kata dia, bertugas memberkati pernikahan seseorang.