“Kabarnya dia itu santri dari Jawa Barat. Apa iya, aku pun dari Jawa Barat,” ucap Sarmin dan melirik Beni, orang disebelahnya yang merupakan warga asli Batak. “Bah! Kau nyama-nyamain aja. Lihatlah, nama kau itu Sarmin, mana ada orang Jawa Barat namanya Sarmin.”
Sarmin cuma mengekeh kecil. Beni jadi sewot. “Jawa, kau! Kulit kau aja gosong, orang Jawa Barat bersih kulitnya.” Dan, Sarmin pun tertawa ngakak. “Sudah! Sudah, aku memang dari Jawa Tengah, tapi tetanggaan Jawa Barat.”
“Bah! Gitu baru pas.” Beni dan Sarmin ketika itu berada di warung kopi. Kedua orang itupun lantas tertawa gelak-gelak. Mereka memang becokok-becokok pajak Martoba. Pedagang membayar uang kebersihan dan keamanan kepada mereka.
Uang hasil kebersihan dan keamanan sebagian mereka setorkan ke opas kompeni berkulit hitam yang datang setiap tutup pasar. Opas-opas Kompeni kala itu kebanyakan dari Ambon.
Sarmin dan Beni mendadak hentikan bicara ketika didepan mereka melintas dua wanita. “Waduh, ada Tjinten, gawat! Sebaiknya kita ngumpet. Orang itu ujudnya aja perempuan aslinya semi laki. Tinju dan sepaknya (baca; tendangan) melebihi kuatnya laki-laki tulen.”