MEDIASERUNI – Ning Lestari memacuh kudanya perlahan measuki Kampung Besar Dolog Masihul. Di perjalanan dia sempat mendengar orang kampung bicara soal Hutan Laras yang berhasil dibuka Mandor Surak.

Hutan itu berkembang pesat jadi areal perkebunan palawija dan sayuran. Meski belum banyak dikunjungi pedagang namun dewasa itu menjadi salah satu tujuan para perantau mengadu nasib.

Ning Lestari hentikan kudanya di depan sebuah rumah makan. Di bagian depan rumah makan tertulis kalimat “Rumah Makan Sederhana” tercetak pada papan berukuran sedang.

Ning Lestari baru akan masuk rumah makan sewaktu anak laki-laki berusia sepuluh tahunan datang menghampiri. “Kakak cantik, kuda kakak terlihat kelelahan dan kehausan. Kalau kakak mau aku bisa mencarikan air segar dan membelikan dedak.”

Anak laki-laki itu kembangkan senyum lebar. Ning Lestari tersenyum. “Anak pintar, siapa namamu.”

“Ucok, kakak. Mamak yang menamaiku.” Ning Lestari masih tersenyum, kemudian memberikan lima keping uang. “Aduuh, ini banyak sekali, kak, satu keping aja kembaliannya masih banyak kakak.”

“Tidak apa, yang empat keping adik kasihkan ke mamak.” Anak laki-laki bernama Ucok melompat kegirangan. Setelah mengucapkan terima kasih, lantas dia berlari dan lenyap di keramaian.

Gadis adik Raden Alam Sati yang menentang kebijakan kompeni di Deli tertawa lebar sebelum melangkah masuk rumah makan. Tiga lelaki bertampang kasar menoleh. Ketiganya terlihat kaget, namun tak berani menyapa.

Ning Lestari acuh, tenang dia memilih duduk di pojok kanan, kemudia edarkan pandang setelah pesan makanan. Saat itu rumah makan sedang ramai-ramainya. Biasanya yang makan para pendatang yang kebetulan melintas.

Baca Juga:  Kecelakaan di Ciater, Bus Pariwisata Tabrak Motor dan Mobil, Korban Bergelimpangan di Jalan

Namun tidak sedikit pula kuli-kuli kebun yang tak cocok dengan masakan dapur umum. Tapi, hari itu tampak berbeda. Banyak sekali pendatang mampir kesana sehingga bagian dalam rumah makan terasa sempit.

Sesaat edarkan pandang pesanan datang, dan Ning Lestari langsung menyantapnya, meski dengan hati dongkol menyadari tiga lelaki bertampang kasar yang terus memperhatikan, sambil berbisik-bisik.

Tiga orang bertampang kasar masih terus memperhatikannya ketika mendadak terdengar orang bercakap-cakap. “Kita ini memang kuli upahan, tapi untuk melihat terang mana benar dan salah, mata ini masih jelas.”

“Eh, Lian, jaga lidahmu! Hati-hati bicara. Mata kompeni ada dimana-mana. Kalau dengar mereka, tamat kau!” Orang yang bicara Udin, dan temannya itu Parulian.

“Bah! Aku tak peduli sekalipun mereka dengar. Eh, Din, dengar nih, aku memang cuma kuli upahan, tapi aku juga eks pedagang keliling. Konsumenku dulu nyonya-nyonya besar kompeni dan sinyo-sinyo…”

Parulian, anak batak asli tajam menatap Udin si pendatang Jawa. “…Mereka bilang ini, bangsa mereka sudah terlalu banyak berhutang budi dengan bangsa kita. Sudah saatnya bangsa mereka membalas dari budi yang mereka telan…”

“Whalaa, makin ngeri lidahmu Lian…”
“Bah! Tak aku Din. Aku ini orang Batak, yang ada di otakku itulah yang ada di lidah… Itulah, sikit-sikit aku tahu permainan orang-orang atas. Dan, kau Din, tak usahlah takut sama londo-londo itu, yang penting asal kita benar…”

Udin melongo, tapi mimik Parulian mendadak berubah. “Eh, Din…” Namun terhenti. Parulian sekejap toleh kanan kiri. Udin pesaran. “Apa…”

Parulian tempelkan telunjuk di bibirnya. “Ini of the record, cuma sebatas omongan jangan disebar…” Udin angkat jari telunjuk dan tengah secara bersamaan tanda setuju.

Baca Juga:  MANDOR SURAK (10)

Parulian tarik napas. “Waktu antar ransum, sempat aku dengar Si Muka Dingin Tjinten bilang sama kawan-kawannya, katanya api dari tanah jawa sudah sampai di Sumatera. Entah apa maksud cakapnya, tapi aku mendengar dia menyebut-nyebut…”

Parulian agak beragu. Tapi sekejap itu dia kembali melanjutkan. “Ngg, itu, dia menyebut nama, apa yaa, eh iya… Utusan Singa… Ya utusan singa. Eh, iya betul, Si Muka Dingin bilang ada utusan singa di Sumatera…”

Udin yang aslinya berwatak polos, dan tak neko-neko jadi kesal dengar bicara Parulian yang belepotan. “Tak terang cakap kau. Kayak orang mabok, minum ndak maboknya iya…”

Udin mendengus. “Apa itu tadi, ngg, api jawa.. Api ya api jawa ya jawa. Di sumatera juga banyak api, ngapain ngambil yang di Jawa. Dan satu lagi, ya itu, singa… utusan singa. Apa pula itu, harimau ada disini kalau singa ndak ada… Eh, di Jawa pun ndak ada… Eh, ada deng di Jawa, itu di Parangtritis yang pasirnya putih dan ada gurunnya, disitu ada singa.”

Gundukan mata Parulian mendadak membulat. “Nah itu, singa yang Parangtritis itu mungkin yang mau dibawa kesini… Ngg, tapi buat apa…”

Mendengar obrolan dua pekerja kebun di meja belakangnya, Ning Lestari, gadis putri pendekar besar bergelar Piring Pecah Seribu, berkerut-kerut dahinya. Rasa berpenarannya semakin besar. Namun dia harus segera menemui Tjinten. Maka setelah membayar makanannya diapun bergegas keluar. (Azhari/bersambung)