PEREMPUAN Tua si pelempar tanah ke mulut Sutan Adang Alang itu memang Nenek Gagak Merah adanya. Dialah Si Penasehat Sisingamangaraja XII yang lari ke Aceh.
Kehadirannya di Tanah Deli memang sedang menyusuri jejak Haji Usman.

“Hmm, aku bercuriga, Haji Usman itulah kiai muda dulu mengamuk menghancurkan tangsi kompeni di Meulaboh…” Nenek berjuluk Gagak Merah bergumam. “Dan, aku yakin, dia juga yang menyelamatkan Panglima Mahisa ketika Lembah Berjuntai di bom bardir meriam-meriam kompeni.”

Sambil menduga-duga begitu, Si Nenek yang masih mendendam atas kelicikan kompeni Belanda terhadap Sisingamangaraja XII totol-totolkan tongkat merahnya ke tanah. “Hmm, penglihatanku tidak salah. Apakah benar yang kusaksikan tadi itu ajian bernama Tali Angin…”

Nenek Gagak Merah kembali totol-totolkan tongkat merah ke tanah. Memang, di dunia persilatan ajian Tali Angin sudah demikian kesohor. Konon pemiliknya adalah seorang kiai yang pernah bermukim di puncak Merapi. Namun kiai itu sendiri dikabarkan telah lenyap dari tanah Jawa.

Dahulu ajian tersebut diperlihat sang kiai ketika berlangsung pertemuan para pendekar di puncak Merapi. Nenek Gagak Merah hadir saat itu, dan menyaksikan bagaimana kiai tersebut bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.

Baca Juga:  ASN Purwakarta Dilarang Menggunakan Mobil Dinas untuk Mudik

Dengan ajian itu tokoh aliran hitam penghuni puncak gunung salju Jayawijaya berjuluk Dukun Santet harus bertekuk lutut. Dan kini, ajian itu kembali disaksikannya. Entah bagaimana Haji Usman menukar dirinya dengan serdadu kompeni tolol dalam waktu bersamaan dalam satu gerakan.

Hanya saja, efek dari ajiaan ini memang sangat berbahaya, karena dapat membuat yang terkena ajian hilang ingatan alias gila. “Hmm, hmm.., jelas tadi kulihat dia berkelebat ke arah Selatan, apakah ke Tanah Batak. Sebaiknya kususuri sekalian mencari kutu kupret Badar sama Peang. Kabarnya, mereka jadi begal di hutan ini…”

Memang, pada saat itu, banyak pengikut raja Batak yang selamat dari meriam-meriam kompeni belanda yang membom bardir Pulau Samosir. Mereka melarikan diri ke hutan, termasuk Nenek Gagak Merah, Badar dan Peang.

Namun kompeni tidak membiarkan mereka lolos, mereka terus dikejar. Sebagian berhasil ditangkap, dan sebagian tewas dibunuh pendekar-pendekar bayaran kompeni. Nenek Gagak Merah sendiri melarikan diri ke Aceh, dan bergabung dengan pasukan Panglima Mahisa, yang mengobarkan api perlawanan di Aceh.

Baca Juga:  DBMPR Jabar Tanggap Tangani Pondasi Jembatan Cipager yang Tergerus Banjir

Sayangnya, pasukan Panglima Mahisa pun berhasil di porak-porandakan kompeni. Hanya saja Panglima Mahisa beruntung lantaran diselamatkan Haji Usman. Panglima Mahisa sendiri tidak diketahui keberadaan sejak peristiwa di Lembah Berjuntai.

Nenek Gagak Merah kembali bergumam. “Pokoknya si kutu kupret Badar dan Peang musti membantu, eh.., kiai muda itu, tadi disebut apa yaa, ngg.., eh iya, Haji Usman. Ya, Haji Usman. Pokoknya harus bergabung dengan Haji Usman…”

Akan tetapi si nenek kembali totol-totolkan tongkat ke tanah. “Alaamaak, hutan ini sangat luas, mau kucari kemana dua kutu kupret itu…”

Nenek Gagak Merah betullah seorang paling dihormati dikalangan pasukan Sisingamangaraja. Dia juga penasihat perang jempolan Raja Batak. Akan halnya Badar dan Peang, sebetulnya mereka bersaudara dan berguru pula pada orang yang sama.

Hanya saja dimana keberadaan mereka saat ini, itulah yang jadi persoalan. Nenek Gagak Merah akhirnya tertawa cekikikan. Maka, dua kali dia totol-totolkan tongkat merah ke tanah, kali ketiga, diiringi cekikikan panjang tubuhnya melesat dan lenyap di balik gelapnya hutan Deli. (Bersambung)