Tengku Layang mendengus. “Huh! Baguslah kau menyadari. Itu tanda otakmu mulai encer.” Tengku Aba mendengki. “Setan! Kau menganggap dirimu saja yang pandai. Fuah!”
Tengku Layang malah tertawa tergelak. “Sudanlah! Lebih baik pusatkan mata kedepan!”
Selesai bicara dua tokoh silat hebat Tanah Aceh itu lipat gandakan tenaga dalam. Sekali keduanya menggembor tubuhnya melesat cepat laksana terbang.
Dan, masih sekali lagi mereka lipat gandakan tenaga ke bawah sebelum mendadak Tengku Aba membentak. “Setan! Serahkan dirimu buronan!”
Mahisa hentikan lari. Dia sadar sejak tadi dua orang dibelakangnya membuntuti. Maka, sekali menggembor tubuhnya mencelat dan berhenti lima langkah didepan dua tokoh sakti bayaran kompeni belanda. “Apa maumu kape-kape (baca; kapir, sebutan untuk pengkianat) durjana!”
Dihadapan Tengku Aba dan Tengku Layang detik itu tegak seorang setengah baya dengan rambut riap-riapan panjang ke pung- gung mengenakan ikat kepala putih. Jubah yang kelabu berkibar- kibar dihembus angin malam, sebilah parang terselip dalam lilitan berkepala Rajawali yang bagian belakangnya dicanteli lima buah gelang terbuat dari baja murni.