“Datuk, selamanya bangsa ini tak akan bebas dari penindasan kompeni kalau cara berpikirnya masih membawa ego daerah. Yang dibutuhkan bangsa ini bersatu, dan bersama-sama melawan kompeni. Maka orang asing itu akan hengkang dari bumi tercinta.”
Mendengar itu, bekas penasehat Sisingamangaraja ini terdiam. Bukankah dahulu Sisingamangaraja sudah pula mengabarkan ini. Sisingamangaraja selalu bicara persatuan, bahkan raja perkasa itupun mengirim utusan-utusan ke pejuang-pejuang di sumatera untuk bersatu, mesti tak seorangpun utusan sampai ditujuan.
“Soal itu aku sependapat kawan, mesti tak mudah untuk dilakukan. Tapi Parang Setan beda urusan. Parang mustika itu dibutuhkan untuk mempersatukan rakyat batak.”
Dan, akibatnya sungguh luar biasa. Mahisa terdorong satu tombak ke belakang. Dari cela bibirnya meleleh darah kental. Dadanya bukan lagi berdenyut tapi serasa hancur, aliran darahnya tak beraturan, nadinya serasa pecah.
Didepan Mahisa, Raja Siluman pun mengalami hal yang sama, bahkan tubuhnya sampai terbanting ke tanah. Dari mulutnyapun meleleh darah kental, ada rasa sakit teramat di dada dan urat nadinya serasa pecah.