Parulian tarik napas. “Waktu antar ransum, sempat aku dengar Si Muka Dingin Tjinten bilang sama kawan-kawannya, katanya api dari tanah jawa sudah sampai di Sumatera. Entah apa maksud cakapnya, tapi aku mendengar dia menyebut-nyebut…”
Parulian agak beragu. Tapi sekejap itu dia kembali melanjutkan. “Ngg, itu, dia menyebut nama, apa yaa, eh iya… Utusan Singa… Ya utusan singa. Eh, iya betul, Si Muka Dingin bilang ada utusan singa di Sumatera…”
Udin yang aslinya berwatak polos, dan tak neko-neko jadi kesal dengar bicara Parulian yang belepotan. “Tak terang cakap kau. Kayak orang mabok, minum ndak maboknya iya…”
Udin mendengus. “Apa itu tadi, ngg, api jawa.. Api ya api jawa ya jawa. Di sumatera juga banyak api, ngapain ngambil yang di Jawa. Dan satu lagi, ya itu, singa… utusan singa. Apa pula itu, harimau ada disini kalau singa ndak ada… Eh, di Jawa pun ndak ada… Eh, ada deng di Jawa, itu di Parangtritis yang pasirnya putih dan ada gurunnya, disitu ada singa.”
Gundukan mata Parulian mendadak membulat. “Nah itu, singa yang Parangtritis itu mungkin yang mau dibawa kesini… Ngg, tapi buat apa…”