MEDIASERUNI – Dewasa itu Dolog Masihul sudah menjadi perkampungan setengah kota, dan ramai dikunjungi pendatang dan kuli kontrak. Dahulu Mandor Surak pun sempat bermukim disana, sebelum membuka hutan Laras, sekarang Kabupaten Simalungun.
Kebanyakan yang datang ke Dolog Masihul orang-orang yang ingin mengadu peruntungan. Mereka tenaga-tenaga upahan dari Jawa yang datang dengan menumpang kapal-kapal besar kompeni dan peniaga.
Pemerintah Kompeni ketika itu memang sudah meluaskan areal perkebunan dengan membuka hutan-hutan lebat, dan menanaminya dengan rempah-rempah dan sayuran. Itulah sebabnya kompeni membutuhkan tenaga penebang hutan dan pekerja kebun.
Dahulu, Dolog Masihul merupakan hutan angker markas gerombolan rampok ganas dan segala macam demit dan siluman, sebelum hutan itu dibuka tiga bersaudara Sarman, Ibrahim dan Minon.
Dolog Masihul itu pula ujian bagi tiga bersaudara mengasa ketajaman kapak-kapak mereka, merobohkan pohon dan membabat gerombolan rampok-rampok ganas, yang sebagian besar pengikut Sisingamangaraja yang selamat dan bersembunyi di hutan-hutan.
Tak dapat dipungkiri, pemerintah kompeni pun telah bermurah hati. Tiap areal perkebunan ada dapur umumnya. Para mandor kecil merupakan wakil-wakil kompeni yang mengatur keperluan dan sistem kerja kuli-kuli kontrak.
Mandor-mandor ini pula menawarkan pembantu-pembantu di rumah-rumah besar pejabat-pejabat kompeni. Baik sebagai tukang masak, tukang cuci, tukang sapu, sais delman dan pengurus rumah tangga.
Suasana pagi yang tenang mendadak pecah oleh derap kaki kuda. Meski tidak dilarikan dengan kencang namun suara ladam (pelapis tapak kuda) dan jalanan berbatu cukup membuat telinga tak nyaman.
Serombongan perempuan serentak minggir begitu kuda berlari melintas. Namun yang seorang mendengki, dia bernama Karmila, menyadari si penunggang menoleh pun tidak. “Heh, wadon! Pelankan sikit lari kudamu! Tahu dirilah. Ini bukan jalan nenek moyangmu!”
Si penunggang kuda gadia muda berparas cantik, bernama Ning Lestari, namun raut wajahnya menyiratkan diapun bukan wanita yang lemah, sontak hentikan kuda menoleh kebelakang. “Heh, nona! Jalan inipun bukan jalan nenek moyangmu. Kalau tak suka dengar derap kuda tutup kupingmu. Pake bentak-bentak segala!”
“Whele, whelee… Wadon ini dibilangin yang betul malah merengkel. Wesss, tak pateni sekalian.” Mendengar logat bicaranya jelaslah wanita ini dari Jawa Timur, sesaat akan melompat setelah raba gagang belati di pinggang.
Namun gerakannya tertahan perempuan disampingnya bernama Walgina. “Sabaar, sabar kak, buat apa tergesa-gesa. Cuma lantaran urusan kecil, hilanglah akal. Nanti malah jadi urusan.”
“Sabar… Lah, mau sabar cemana, melihat wadon ini sangat kurang aja!” Karmila masih kesal. Walgina tak menyahut kecuali memamdang ke arah Ning Lestari. “Nona, apakah engkau orang baru di kampung ini.”
Ning Lestari pun ternyata beradat keras. Merasa dirinya diintimidasi adatnya pun keluar. “Orang baru atau tidak aku di kampung ini, apa urusanmu! Apa kalian pemilik tanah disini, sehingga merasa berhak manginterogasi setiap yang datang kesini.”
“Bukan begitu, nona, soalnya…”
“Soalnya apa!? Karena aku menunggang kuda dan kalian berjalan kaki, itukan?!”
“Nona! Bicaramu kasar!”
“Walgina, minggir kau. Tak bisa lagi aku bersabar. Wadon ini, biar aku ajar adat!”
Walgina cuma sempat melirik ketika tahu-tahu Karmila sudah melompat dengan belati ditangan. Tetapi Ning Lestari ternyata bukan gadis yang kosong. Sambaran ganas belati kearah lengan mudah saja dia elakan, dilanjutkan dengan meloloskan pedang pendek, dan langsung lakukan serangan balasan.
Karmila mengelak. “Wadon kurang ajar, punya simpanan rupanya kau, Heh!” Ning Lestari membentak. “Wadon, wadon! Dari tadi kau menyebutku wadon. Kalau merasa punya lidah, bicara yang benar!”
“Fuaah! Diam kau, wadon!”
“Eh, kampret! Wadon lagi, dan… Wutt”. Nyaris pedang pendek Ning Lestari merobek lengan Karmila. Namun “trang!” Belati Karmila menangkis dan balas menikam.
Balik Ning Lestari dan Karmila nyaris saling membunuh kalau saja tidak terdengar bentakan keras dari arah belakang. “Hentikan perkelahian. Dasar, perempuan – perempuan tolol!”
Entah dari mana, saat itu Tjinten sudah tegak dihadapan mereka, menatap tajam kearah Karmila dan Ning Lestari. (Ari/bersambung)